Makalah Pembentukan Keluarga Sakinah Pada Pasutri



TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH HUKUM DAN ETIKA KESEHATAN
PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH PADA PASUTRI



 


Disusun oleh:
Kelas           : A
Kelompok   : 6
Anggota      : 1. Mayassisca                                    G1B014048
                      2. Dwi Aisanti P.                              G1B014049
                      3. Anissaa Latifaa Nur Jannah          G1B014050
                      4. Irma Khairunnisa                          G1B014065
                      5. Syifa Waras Utami                        G1B014068

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2015
Kata Pengantar

Segala  puji  bagi  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penulis  mampu  menyelesaikan  tugas  ini.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan Allah swt, dosen mata kuliah Hukum dan Etika Kesehatan, orang tua, dan teman-teman sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan Etika Kesehatan dan agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pembentukan keluarga sakinah pada pasutri yang telah disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, dan referensi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  mata kuliah Hukum dan Etika Kesehatan, kami meminta  masukan  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Purwokerto, 20 Mei 2015

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Sebagai makhluk biologis manusia memiliki kebutuhan vital untuk makan, minum, istirahat dan seks yang tidak dapat ditinggalkan. Untuk pemenuhan ini manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Manusia bertingkah laku untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, karena merupakan faktor pendorong yang penting dalam kehidupan perkawinan seperti keinginan untuk memiliki keturunan, dan memenuhi kebutuhan seksualnya. Dalam perkawinan selain memenuhi kebutuhan biologisnya manusia juga membutuhkan kasih sayang dari orang lain, sehingga dalam memenuhi kebutuhanya tersebut manusia harus berinteraksi dengan sesama manusia lain..
Cinta sangat memerlukan keterbukaan diri antar pasangan, apalagi pasangan suami-istri yang yang mengarungi perkawinan dengan komitmen. Noller dan Fitz Pattrick (1993) mengaitkan keterbukaan diri dengan hubungan suami-istri, bahwa keterbukaan diri adalah bagian dari kemesraan hubungan antara suami dan istri karena dalam hubungan yang mesra pasangan dapat menerima pengakuan diri pasanganya dan memberikan tanggapan yang hangat dan simpatik pada pasanganya. Keterbukaan diri tidak hanya terbuka pada perasaan-perasaan positif saja tetapi juga perasaan negatif. Permasalahannya di sini adalah dalam perkawinan tidak semua pasangan suami-istri memiliki komitmen yang kuat. Akibatnya akan menimbulkan persoalan atau konflik dalam kehidupan pasangan tersebut bahkan lebih parah akan menimbulkan perceraian.
Cinta dan segala apapun yang mendasari utuhnya hidup rumah tangga tidak lagi hanya mawaddah tapi juga selalu diiringi rasa rahmah yang jalannya searah dengan pencarian ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam penyempurnaan agama yang separuhnya sudah dipenuhi karena terjalinnya sebuah pernikahan antara kedua insan. Oleh karena itu, keluarga sakinah diperlukan untuk menghidupkan suasana yang lama terasa hambar dalam pernikahan, membangkitkan cinta yang tadinya sudah layu, membasahi hati yang sudah menjadi kering, menuai keharmonisan demi keharmonisan di tiap atmosfer para penghuni rumah tangganya.

1.2 Rumusan Masalah
            Masalah yang dirumuskan dalam pembahasan Pembentukan Keluarga Sakinah pada Pasutri antara lain:
1. Apa konsep dasar Perkawinan/Pernikahan?
2.  Apa dasar hukum perkawinan?
3. Apa tujuan perkawinan?
4. Apa manfaat perkawinan?
5. Apa pengertian dari keluarga?
6. Apa pengertian dari sakinah?
7. Bagaimana kriteria umum keluarga sakinah?
8. Apa saja ciri-ciri keluarga sakinah?
9. Bagaimana faktor-faktor pembentukan keluarga sakinah?
10. Bagaimana kiat-kiat membangun keluarga sakinah?

1.3 Tujuan
            Tujuan dari pembahasan Pembentukan Keluarga Sakinah pada Pasutri antara lain:
1. Mengetahui konsep dasar perkawinan/pernikahan.
2. Mengetahui dasar hukum perkawinan.
3. Mengetahui tujuan perkawinan.
4. Mengetahui manfaat perkawinan.
5. Mengetahui pengertian dari keluarga.
6. Mengetahui pengertian dari sakinah.
7. Mengetahui kriteria umum keluarga sakinah.
8. Mengetahui ciri-ciri keluarga sakinah
9. Mengetahui faktor-faktor pembentukan keluarga sakinah
10. Mengetahui kiat-kiat membangun keluarga sakinah.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Perkawinan/Pernikahan
Hukum keluarga dalam masyarakat muslim kontemporer, baik di negara-negara muslim maupun negara-negara yang penduduknya beragama Islam, sangat menarik untuk dikaji, sebab, di dalam hukum keluarga Islam terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulullah atau dalam qanun (perundang-undangan)-Nya senantiasa dilandaskan pada firman Allah SWT. (Al-Qur’an) dan sabda Rasulullah (Hadits).
Keluarga sakinah merupakan dambaan sekaligus harapan bahkan tujuan insan, baik yang akan ataupun yang tengah membangun rumah tangga. Sehingga tidaklah mengherankan, jika di kota-kota besar pada sekarang ini membincangkan konsep keluarga sakinah merupakan kajian yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga penyajiannya pun beragam bentuk; mulai dari sebuah diskusi kecil, seminar, dan lokakarya hingga privat. Terlepas apakah masalah keluarga sakinah ini menarik atau tidak menarik untuk dikaji, namun yang pasti membentuk keluarga sakinah sangat penting dan bahkan merupakan tujuan yang dicapai bagi setiap orang yang akan membina rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21: Islam menginginkan pasangan suami isteri yang telah atau akan membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami isteri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Ada tiga kunci yang disampaikan Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu: 1) Sakinah (as-sakinah), 2) Mawadah (al-mawaddah), dan 3) Rahmah (ar-rahmah).
Sehingga ungkapan Rasulullah SAW “Baitii jannatii”, rumahku adalah surgaku, merupakan ungkapan tepat tentang bangunan rumah tangga atau keluarga ideal. Dimana dalam pembangunannya mesti dilandasi fondasi kokoh berupa Iman, kelengkapan bangunan dengan Islam, dan pengisian ruang kehidupannya dengan Ihsan, tanpa mengurangi kehirauan kepada tuntutan kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia tak lepas dari hajat keduniaan, baik yang bersifat kebendaan maupun bukan.


2.2   Dasar Hukum Perkawinan
1. UU Nomor  1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

2. Al-Quran Surat An Nur Ayat 32
 وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى‏ مِنْكُمْ وَ الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ عَليمٌ
(32) Dan kawinlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan me­mampukan dengan kurniaNya karena Tuhan Allah itu adalah Maha Luas pemberianNya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hambaNya).
Sebagaimana telah diketahui sejak dari permulaan Surat an-Nur ini, nyatalah bahwa peraturan yang tertera di dalamnya hendak membentuk suatu masyarakat Islam yang gemah ripah, adil dan makmur, loh jinawi. Keamanan dalam rohani clan jasmani dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga ada peraturan memasuki rumah, ada peraturan memakai pakaian yang bersumber dari kesopanan iman. Maka di dalam ayat yang selanjutnya ini terdapat pula peraturan yang amat penting dalam rnasyarakat Islam, yaitu yang dijelaskan dalam ayat 32 tersebut di atas. Hendaklah laki-laki yang tidak beristeri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujangan dan gadis ataupun telah duda dan janda, karena bercerai atau karena kematian salah satu suami atau isteri, hendaklah segera dicarikan jodohnya.

Apabila kita renungkan ayat ini baik-baik jelaslah bahwa soal mengawin­kan yang belum beristeri atau bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan peribadi dari yang bersangkutan, atau urusan "rumahtangga" dari orang tua kedua orang yang bersangkutan saja, tetapi menjadi urusan pula dari jamaah Islamiah, tegasnya masyarakat Islam yang mengelilingi orang itu.
3. Al-Quran Surat Ar Rum Ayat 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. 30:21)

        Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan-perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis pria dan wanita itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah maju dan bergiat agar perasaan-perasaan itu dan kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dan wanita itu tercapai. Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkaw nan antara laki-laki dan perempuan itu. Dalam keadaan demikian bagi laki-laki hanya istrinya itulah wanita yang paling cantik dan baik, sedang bagi wanita itu, hanya suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing mereka merasa tenteram hatinya dengan ada pihak yang lain itu. Semuanya ini merupakan modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia.
Dengan adanya rumah tangga yang berbahagia jiwa dan pikiran menjadi tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang serta kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan ketenteraman bagi laki-laki dan wanita secara menyeluruh akan tercapai. Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang), Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan: "Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan merekalah seharusnya bersenggama.

2.3 Tujuan Perkawinan
            Tujuan dilakukannya perkawinan antara lain:
  1. Untuk Membentengi Akhlak Yang Mulia
  2. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
  3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
  4. Untuk Meningkatkan Ibadah kepada Allah.
  5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih

2.4 Manfaat Perkawinan
  1. Dapat menundukkan pandangan.
  2. Akan terjaga kehormatan
  3. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
  4. Akan ditolong dan dimudahkan oleh Allah.
  5. Dapat menjaga syahwat, yang merupakan salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam surga.
  6. Mendatangkan ketenangan dalam hidup.
  7. Akan mendapatkan keturunan yang shalih.
  8. Menikah dapat menjadi sebab peningkatan jumlah ummat Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
  9. Akan terwujud keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

2.5 Pengertian Keluarga
Berbagai definisi mengenai keluarga telah dikemukakan oleh para ilmuwan maupun lembaga, yang memberikan gambaran betapa pentingnya arti sebuah keluarga.
Duvall dan Logan ( 1986 ) mendefinisikan Keluarga dengan sekumpulan orangdengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
Bailon dan Maglaya ( 1978 ) mendefinisan  Keluarga dengan pengertian dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah,perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. DepartemenKesehatan RI ( 1988 )  mendefinisikan  Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat di tarik suatu kesimpulan, bahwa yang disebut keluarga adalah berkumpulnya dua individu atau lebih yang diikat oleh tali pernikahan dalam upaya melestarikan kehidupan. Adapun karakteristik-karakteristik dari sebuah keluarga adalah sebagai berikut:
1. Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi;
2. Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain;
3.  Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial antara lain suami, istri, anak, kakak dan adik;
4. Mempunyai tujuan yaitumenciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

2.6 Pengertian Sakinah
Secara harfiyah (etimologi) sakinah diartikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Kata ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa sakinah itu didatangkan Allah SWT ke dalam hati para nabi dan orang-orang yang beriman. Ali bin Muhammad Al-Jurjani mendefinisikan sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak terduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang memberi ketenangan dan ketentraman. Adapun menurut Muhammad Rasyid Ridha bahwa sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan bathin dan ketakutan.
Ulama tafsir menyatakan bahwa sakinah dalam ayat tersebut adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga dimana masing-masing pihak (suami-isteri) menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa bertanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi.
Pengambilan kata sakinah yang ditujukan pada tujuan pernikahan di dalam islam, diambil dari ayat ke 21 dari al-Qur’an Surat  al-Rum yang artinya:
”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat tersebut di atas ada kalimat “ litaskunuu ilaiha”., yang dalam terjemah bahasa Indonesia lebih diartikan dengan “ supaya kamu cenderung dan tentram kepadanya”. Kalimat “litaskunuu” ini lah, yang kemudian membentuk kata sakinah.
Di dalam bahasa Arab, kata-kata sakinah berasal dari kata-kata “ sakana – yaskunu – sukunun – sakinatun “, dimana di dalamnya terkandung makna “ tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan.
Dari dua definisi di atas yakni tentang keluarga dan sakinah, maka dapatlah kita definisikan bahwa keluarga sakinah itu adalah berkumpulnya dua individu atau lebih yang diikat oleh tali pernikahan dalam upaya melestarikan kehidupan dimana dalamnya terdapat interaksi yang melahirkan ketenangan, rasa aman, kemantapan baik ekonomi, fisik, maupun psikis, saling menghormati, saling mengasihi dan menyayangi, serta saling membela satu sama lain.
Keluarga sakinah merupakan kondisi keluarga yang sangat ideal dalam menjalani kehidupannya, dimana keluarga yang ideal seperti ini sangat jarang adanya. Namun sekalipun sangat jarang keberadaannya, bukan berarti tidak dapat diwujudkan, hanya saja dalam upaya mewujudkannya diperlukan pengorbanan yang sangat besar dan sangat panjang, baik pengorbanan waktu, materi, ilmu dan lain-lain.

2.7 Kriteria Umum Keluarga Sakinah

Dalam Program Pembinaan Gerakan keluarga sakinah disusun kriteria-kriteria umum keluarga sakinah yang terdiri dari Keluarga Pra Sakinah, Keluarga Sakinah I, Keluarga Sakinah II, Keluarga Sakinah III, dan Keluarga Sakinah III Plus yang dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Uraian masing-masing kriteria sebagai berikut :
1. Keluarga Pra Sakinah : yaitu keluarga-keluarga yang dibentuk bukan melalui ketentuan perkawinan yang syah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar spiritual dan material (basic need) secara minimal, seperti keimanan, shalat, zakat fitrah, puasa, sandang, pangan, papan dan kesehatan.
2. Keluarga Sakinah I : yaitu keluarga- keluarga yang dibangun atas perkawinan yang syah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara minimal tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, bimbingan keagamaan dan keluarganya, mengikuti interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya.
3. Keluarga Sakinah II : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yang syah dan di samping telah dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga serta mampu mengadakan interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu menghayati serta mengembangkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah, infaq, zakat, amal jariyah menabung dan sebagainya.
4. Keluarga Sakinah III : yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlakul karimah sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya tetapi belum mampu menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.
5. Keluarga Sakinah III Plus : yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.
Untuk mengukur keberhasilan program keluarga sakinah tersebut ditentukan tolok ukur umum masing-masing tingkatan . Tolok ukur ini juga dapat dikembangkan sesuai situasi dan kondisi di sekitarnya. Adapun tolok ukur umum tersebut adalah sebagai berikut :
I. Keluarga Pra Sakinah
a. Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang tidak syah
b. Tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku
c. Tidak memiliki dasar keimanan
d. Tidak melakukan shalat wajib
e. Tidak mengeluarkan zakat fitrah
f. Tidak menjalankan puasa wajib
g. Tidak tamat SD, dan tidak dapat baca tulis
h. Termasuk kategori fakir dan atau miskin
i. Berbuat asusila
j. Terlibat perkara-perkara criminal
II. Keluarga Sakinah I
a. Perkawinan sesuai dengan peraturan syariat dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
b. Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain, sebagai bukti perkawinan yang syah
c. Mempunyai Perangkat shalat, sebagai bukti melaksanakan shalat wajib dan dasar keimanan
d. Terpenuhi kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan tergolong fakir dan miskin
e. Masih sering meninggalkan shalat
f. Jika sakit sering pergi ke dukun
g. Percaya terhadap takhayul
h. Tidak datang di pengajian atau majelis taklim
i. Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD
III. Keluarga Sakinah II
Selain memiliki kriteria Keluarga Sakinah I, keluarga tersebut hendaknya :
a. Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian itu
b. Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa menabung
c. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTP
d. Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana
e. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan
f. Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat lima sempurna
g. Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan amoral lainnya.
IV. Keluarga Sakinah III
a. Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan di masjid-masjid maupun dalam keluarga
b. Keluarga aktif dalam pengurus kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan
c. Aktif memberikan dorongan dan motifasi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya
d. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SMA ke atas
e. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf senantiasa menigkat
f. Meningkatkan pengeluaran qurban
g. Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntunan agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
V. Keluarga Sakinah III Plus
a. Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat memenuhi kriteria haji yang mabrur
b. Menjadi tokoh agama, tokoh masyaraat dan tokoh organisasi yang dicintai oleh masyarakat dan keluarganya
c. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, jariyah, wakaf meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif
d. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat sekelilingnya dalam memenuhi ajaran agama e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama
f. Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana
g. Nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah tertanam dalam kehidupan pribadi dan keluarganya
h. Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi dan seimbang dalam anggota keluarga dan lingkungannya
i. Mampu menjadi suri tauladan masyarakat sekitarnya

2.8 Ciri-Ciri Keluarga Sakinah
1.  Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima, yaitu:
a.       Memiliki kecenderungan kepada agama.
b.      Yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.
c.       Sederhana dalam belanja.
d.      Santun dalam bergaul.
e.       Selalu introspeksi.
Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: ada “empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i)”, yakni:
a.       Suami/isteri yang setia (saleh/salehah).
b.      Anak-anak yang berbakti.
c.       Lingkungan sosial yang sehat.
d.      Dekat rizkinya.
2.  Hubungan antara suami-isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang dipakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu:
a)      Menutup aurat.
b)      Melindungi diri dari panas-dingin.
c)      Perhiasan.
Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus memfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat orang banyak. Sedangkan giliran ada di rumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya. Suami-isteri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami-isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4 Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia, dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai kebaikan di dunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajiabannya sebagai suami karena mengharap ridho Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala di sisi Allah SWT. Sedangkan isteri, menunaikan kewajiban sebagai isteri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu diyakini sebagai perintah Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan menjalankan kewajibannya sebagai istri.
5.  Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, isteri dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.
6.  Rizkinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7.  Anggota keluarga selalu ridho terhadap anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.

2.9 Faktor-faktor Pembentuk Keluarga Sakinah
A.     Faktor utama
Untuk membentuk keluarga sakinah, dimulai dari pranikah, pernikahan, dan berkeluarga. Dalam berkeluarga ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain:
1.      Memahami hak suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami
a.      Menjadikannya sebagai Qowwam (yang bertanggung jawab)
Suami merupakan pemimpin yang Allah pilihkan. Suami wajib ditaati dan dipatuhi dalam setiap keadaan kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.
b.      Menjaga kehormatan diri
Menjaga akhlak dalam pergaulan. Menjaga izzah suami dalam segala hal. Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah tanpa seizin suami
c.       Berkhidmat kepada suami
Menyiapkan dan melayani kebutuhan lahir batin suami. Menyiapkan keberangkatan. Mengantarkan kepergian. Suara istri tidak melebihi suara suami. Istri menghargai dan berterima kasih terhadap perlakuan dan pemberian suami.
2.      Memahami hak istri terhadap suami dan kewajiban suami terhadap istri
a.      Istri berhak mendapat mahar
b.      Mendapat perhatian dan pemenuhan kebutuhan lahir batin
       Mendapat nafkah: sandang, pangan, papan. Mendapat pengajaran Diinul Islam. Suami memberikan waktu untuk memberikan pelajaran. Memberi izin atau menyempatkan istrinya untuk belajar kepada seseorang atau lembaga dan mengikuti perkembangan istrinya. Suami memberi sarana untuk belajar. Suami mengajak istri untuk menghadiri majlis ta’lim, seminar atau ceramah agama.
c.       Mendapat perlakuan baik, lembut dan penuh kasih sayang
Berbicara dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan lebih-lebih ketika haid, hamil dan paska lahir. Sekali-kali bercanda tanpa berlebihan. Mendapat kabar perkiraan waktu kepulangan. Memperhatikan adab kembali ke rumah.

B.     Faktor penunjang
Diantara faktor-faktor penunjang dalam pembentukan keluarga sakinah adalah sebagai berikut :
1.      Bersikap realistis
Bersikaf realistis di sini adalah menerima kenyataan dari pasangan hidup yang merupakan pilihan kita sendiri. Suami harus menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada istrinya, pun sebaliknya. Selain itu dimaksudkan dengan realistis ini adalah memanfaatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi intinya adalah adanya keridhoan atas karunia Allah yang telah dilimpahkan dan berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan karunia tersebut.
2.      Peningkatan pengetahuan
Bukan hanya pengetahuan ajgama yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga, namun pengetahuan umum lainnya pun dibutuhkan.Pengetuan umum yang banyak dibutuhkan dalam mendukung terbentuknya keluarga sakinah adalah pengethuan tentang memasak, mengelola keuangan, tatacara berbusana, ilmu kecantikan dan lain-lain.Semua ilmu tersebut dipergunakan untuk memelihara keutuhan keluarga.
3.      Silaturrahmi
Silaturrahmi merupakan salah satu faktor penunjang bagi pembentukan keluarga sakinah. Silaturrahmi di sini dimaksudkan silaturrahmi antara suami-istri dengan keluarganya (ibu dan bapaknya), dengan saudara-saudaranya, termasuk di dalamnya dengan saudara-saudara dari kedua orang tunanya. Pemeliharaan hubungan silaturrahnmi ini, akan sangat membantu dalam menjaga keutuhan keluarga, sehingga tatakala ada sebuah permasalahan yang menghinggapinya, keluarga yang lain akan membantunya.
C.     Faktor pemeliharaan

a.    Keseimbangan (Sekufu
Antara memilih dan dipilih. Begitulah sesungguhnya hidup ini. Hal ini dikarenakan kehidupan manusia di dunia ini sering diwarnai sebuah proses pilihan hidup yang saling susul-menyusul, yang selalu hadir dalam dua buah kondisi:Memilih ataukah dipilih! Dan salah satu kenyataan hidup yang tak dapat kita hindari adalah keniscayaan untuk memilih calon suami atau istri sebagai pendamping hidupnya di dunia bahkan hingga di akhirat.

Masalah pertama yang harus diperhatikan
Dalam membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, pemilihan pasangan hidup merupakan pintu gerbang pertama yang harus dilewati secara benar sebelum masuk kepada lembaga keluarga Islami yang sesungguhnya, sehingga perjalanan selanjutnya menjadi lebih mudah dan indah untuk dilalui. Tujuannya agar lelaki yang shalih akan mendapatkan wanita yang shalihah, demikian pula sebaliknya. Allah berfirman:
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).

Mengapa kita harus selektif?
Kecermatan memilih pasangan hidup sangat menentukan keberhasilan perjalanan seorang hamba di dunia dan akhirat. Apalagi mengingat pernikahan merupakan bentuk penyatuan dari dua lawan jenis yang berbeda dalam banyak hal, keduanya tentu memiliki kebaikan dan keburukan yang tingkatannya juga berbeda satu sama lain.

Akibat salah memilih
Akibat salah dalam memilih pasangan hidup, banyak pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan dan hidupnya malah tidak bahagia, bahkan perceraian dan gonta-ganti pasangan menjadi sesuatu yang sudah biasa dilakukan. Dewasa ini, begitu banyak kasus pertikaian di dalam sebuah keluarga, dari sekedar konflik yang berbentuk pertengkaran mulut sampai dengan penganiayaan fisik bahkan pembunuhan, yang disebabkan oleh kesalahan langkah awal dalam membentuk rumah tangga. Camkanlah nasehat Luqman Al Hakim berikut ini:
Wahai anakku, takutlah terhadap wanita jahat karena dia membuat engkau beruban sebelum masanya. Dan takutlah wanita yang tidak baik karena mereka mengajak kamu kepada yang tidak baik, dan hendaklah kamu berhati-hati mencari yang baik dari mereka.” (Begitu pula untuk Wanita berhati-hatilah dalam mencari pasangan).

Siapa yang harus kita pilih?
Islam telah mengajarkan dengan cermat atas dasar apa kita harus memilih pasangan hidup kita:
Dinikahi wanita atas dasar empat perkara: karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena agamanya. Barangsiapa yang memilih agamanya, maka beruntunglah ia.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Maka jelaslah bagi kita bahwa ada empat dasar dalam menentukan siapa yang layak untuk kita pilih menjadi pasangan hidup kita, yakhi kekayaan, keelokan, keturunan serta akhlak dan agama. Dan di antara semuanya, maka akhlak dan agama menjadi jaminan kedamaian dan kebahagiaan, sebaliknya pengabaian bahkan pengingkaran terhadap masalah ini akan menyebabkan fitnah dan kerusakan yang besar bagi para pelakunya. Alangkah indahnya memang bila kesemuanya terkumpul pada diri seseorang hamba Allah.

Pilih yang taqwa, baru yang lain

1. Kekayaan
Hal ini memang utama, bahkan Rasulullah SAW adalah seorang dermawan yang paling banyak sedekahnya, tetapi pernikahan bukanlah sekedar transaksi perdagangan semata, bahkan Allah mengancam mereka yang menikah semata-mata karena mengharapkan kekayaan dengan kefakiran: “Barangsiapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah tidak akan menambahkannya kecuali kefakiran..”(HR. Ibnu Hibban).
2. Keelokan
Hal ini juga memang boleh-boleh saja dan menyukai keelokan memang fitrah manusia, bahkan Allah sendiri indah dan menyukai keindahan, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kesenangan mata belaka. Sesungguhnya keelokan merupakan karunia Allah kepada hamba-Nya, yang kelak pasti akan diambil-Nya secara perlahan dengan bertambahnya usia sang hamba. Karena memang tidak ada keelokan yang berkekalan di dunia yang fana ini. “Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan lenyap dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, sebab harta itu akan membuat dia sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya, sebab seorang budak wanita yang hitam dan beragama itu lebih utama.” (HR. Ibnu Majah).
3. Keturunan
Demikian pula hal ini juga sesuatu yang utama, tetapi pernikahan pun bukan sekedar kebanggaan silsilah yang justru bisa membawa kepada penyakit (ashobiyah). Bahkan Allah mengancam mereka yang menikahi seseorang hanya untuk mengejar keturunan, dengan memberikan kerendahan bukan kemuliaan. “Barangsiapa yang menikahi wanita karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kecuali kerendahan…”(HR. Ibnu Hibban).
4. Akhlak dan Agama
Inilah faktor yang paling utama, yang tidak boleh tidak, harus ada pada calon pasangan hidup kita. Semakin baik akhlak dan agama seseorang, maka seakan-akan semakin jelaslah kebahagiaan sebuah rumah tangga telah terbentang di hadapan kita. Akhlak dan agama di sini bukanlah sebatas ilmu dan retorika atau banyaknya hafalan di kepala, melainkan mencakup ucapan dan perbuatan sebagai cerminan dari hati seseorang yang telah melekat dalam kepribadiannya, dan inilah TAQWA yang sebenarnya!

Mempersempit pilihan untuk keutamaan

1.    Pilihan yang sekufu

Pilihlah wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anakmu dan nikahilah wanita yang sekufu (sederajat) dan nikahlah dengan mereka.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi).
Al Kafa’ah merupakan masalah kesesuaian dan kesamaan antara pasangan pernikahan yang dianggap paling mendekati, seperti pertimbangan akan masalah: usia, garis keturunan, kehormatan, profesi, atau tingkat pendidikan. Para ulama menyarankan agar laki-laki idealnya menikah dengan wanita yang setingkat dengannya atau di bawahnya, sedangkan seorang wanita sebaiknya menikah dengan laki-laki yang mempunyai tingkatan yang sama atau di atasnya.
2.    Memilih yang penuh kasih sayang dan subur
“Nikahilah wanita-wanita yang penuh kasih dan banyak memberikan keturunan (subur) sebab aku akan bangga dengan banyaknya ummat di hari kiamat kelak” (HR. Ahmad).
Hamba yang penuh kasih dan mengasihi adalah hamba yang memiliki nada perasaan (afek) yang halus serta emosi yang terkendali. Kita dapat mengenali apakah seseorang termasuk kriteria ini melalui ucapan, perbuatan ataupun tatapan mata, baik di kala ia gembira maupun kecewa, yang kesemuanya itu dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kepribadian dan isi hati yang dimilikinya. Apakah dipenuhi kelembutan dan kasih sayang? Ataukah dipenuhi kekasaran, kebencian dan kepalsuan?
3. Memilih kerabat yang jauh
Nasihat Rasulullah SAW: “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab dapat berakibat melahirkan keturunan yang lemah akal dan fisik.” Dan selain untuk menjaga kualitas keturunan dari penyakit bawaan, menikahi mereka yang berasal jauh dari keluarga kita akan menambah ikatan kekerabatan dengan orang lain, serta memberikan kebahagiaan sendiri bila harus berpergian jauh untuk saling silaturahim.
4.      Memilih para gadis
“Nikahilah para gadis sebab ia lebih lembut mulutnya, lebih lengkap rahimnya, dan tidak berfikir untuk menyeleweng, serta rela dengan apa yang ada di tanganmu.”(HR. Ibnu Majah. Al Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah).
Pernikahan dengan yang masih gadis lebih utama daripada janda, karena dapat membuat hubungan lebih erat dan menyatu, mereka lebih mudah digoda dan bercanda serta bersenang-senang, lebih setia dan menerima, serta lebih sedikit beban mental dan psikologisnya bagi kita. Semua ini mempunyai kesan dan kenikmatan tersendiri di dalam menambah keindahan rumah tangga.

b.    Cinta Kasih
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam memilih calon istri adalah hendaknya dia adalah wanita yang dicintai dan menerima cinta atau mencintai calon suami. Karena wanita yang dicintai inilah tentunya yang paling ideal dan paling disenangi oleh calon suami. Sebagaimana Allah SWT sendiri memerintahkan agar kita menikah dengan wanita yang menyenangkan atau yang kita senangi. Firmannya: “...Maka menikahlah dengan wanita yang menyenangkan hati kalian!...” (QS an-Nisa ayat 3).
Pada dasarnya, cinta adalah hal yang amat misteri dan amat suci. Kadang-kadang kita sendiri kesulitan mendeteksi dari mana asalnya cinta, yang tiba-tiba telah tumbuh dalam diri kita. Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba muncul dan jatuh pada seseorang (lawan jenis). Padahal mungkin secara nalar tidak masuk akal. Bisa saja pemuda tampan justru jatuh cinta kepada gadis yang buruk rupa. Tidak mustahil gadis bangsawan nan rupawan justru tergila-gila kepada pemuda desa yang tidak tergolong tampan. Tidak sedikit pengusaha muda yang sukses justru cintanya tertambat pada karyaatinya yang rendah jabatanya, dan seterusnya.
Jika menurut berbagai pertimbangan, wanita itu benar-benar ideal, dan hasil dari konfirmasi terhadap Allah (shalat istikharah) pun menunjukan tanda-tanda positif, maka langkah berikutnya ialah menjajagi perihal wanita tersebut untuk kemudian meminang dan menikahinya.

c.    Komitmen Perkawinan
Penting untuk memahami arti sebuah komitmen perkawinan. Selama ini komitmen perkawinan dipahami sebatas tingkat keinginan seseorang untuk bertahan dalam perkawinannya. Padahal menurut Michael P. Johnson, penggagas teori komitmen perkawinan dari The Pennsylvania State University, komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk, yaitu:
1.    Komitmen personal, yaitu keinginan untuk bertahan karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas terhadap hubungan itu sendiri.
2.   Komitmen moral, yaitu rasa bertanggung jawab secara moral baik terhadap pasangan maupun janji perkawinan.
3.    Komitmen struktural yang berbicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam suatu hubungan karena alasan-alasan struktural seperti yang disebutkan di atas.
Kedua komitmen tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu solusi. Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal, akan mengeluhkan betapa kering perkawinan mereka. Perkawinan ini juga lebih rawan akan konflik. Ditambah dengan tidak adanya lagi rasa tertarik terhadap hubungan dan pasangan, masing-masing dapat kehilangan minat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Akhirnya pasangan ini menjadi rentan terhadap perselingkuhan.
Dengan demikian, komitmen personal tentunya perlu dijaga untuk membangun perkawinan yang bebas affair. Menjaga komitmen personal berarti menjaga kepuasan hubungan. Kepuasan bersifat subjektif dan tergantung dari masing-masing pasangan. Oleh karena itu kita butuh memahami keinginan pasangan dan menyesuaikan diri satu sama lain. Untuk itu perlu menjalin komunikasi dua arah, mendiskusikan perbedaan, dan mendengarkan penuh empati. Disertai dengan respek satu sama lain, dan dilengkapi dengan rasa percaya.

d.    Komunikasi Efektif

Penyelesaian yang baik dan rasional adalah dengan berbicara agar keutuhan rumah tangga bisa dipertahankan. Banyak kasus ketika bicara baik-baik itu penting. Misalnya, ketika seorang istri yang sebelumnya tidak bekerja, kemudian ingin bekerja karena merasa anak-anak sudah cukup dewasa. Ketika suami memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, sementara istri tidak menginginkan suaminya meninggalkan keluarga. Ketika istri menginginkan agar ibunya tinggal serumah dengannya, padahal adik-adiknya masih ada dan, menurut suami, merekalah yang berhak untuk mengurusnya. Ketika suami ingin menikah lagi dan istri melihat itu akan berdampak buruk terhadap kehidupannya. Dan masih banyak contoh lainnya.
Menyiapkan diri sebelum membicarakan persoalan rumah tangga dengan pasangannya:
1. Mempersiapkan apa saja yang akan dibicarakan dan cara yang bagaimana yang bisa memuaskan pasangannya.
2.  Tidak terlalu menuntut merupakan hal yang penting untuk mewujudkan pembicaraan yang berhasil, tetapi bukan semua tuntutannya terpenuhi.
3.  Berbicara terkadang mengharuskan membuka kembali kenangan lama agar bisa sampai kepada penyelesaiannya, karena salah satu pihak akan rugi demi seimbangnya kembali hubungan suami-isteri. Contohnya: ketika suami mengizinkan isteri bekerja, maka suami pun harus rela menanggung beban tugas rumah tangga lebih besar daripada sebelumnya. Dalam hal ini penting sekali untuk menimbang secara matang memberikan prioritasnya.

2.10 Kiat-kiat Membangun Keluarga Sakinah
1. Pilih pasangan yang shaleh atau shalehah yang taat menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SWT.
2. Pilihlah pasangan dengan mengutamakan keimanan dan ketaqwaannya dari pada kecantikannya, kekayaannya, kedudukannya.
3. Pilihlah pasangan keturunan keluarga yang terjaga kehormatan dan nasabnya.
4. Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan yang dilaran Allah SWT 
5. Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman, cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat menyelamatkan anggota keluarganya dario siksa api neraka.
6. Istri berusaha menjalankan kewajibann ya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentan agama islam dan ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga, memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.
7. Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai, merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.
8. Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi badai dan gelombang kehidupan.
9. Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama, seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersukur kepada Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-qur’an, berziarah qubur, menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.
10.Suami istri selalu meomoh kepada Allah agar diberikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
11. Suami secara berkala mengajak istri dan anaknya melakukan instropeksi diri untuk melakukan perbaikan dimasa yang akan datang. Misalkan, suami istri, dan anak-anaknya saling meminta maaf pada anggota keluarga itu pada setiap hari kamis malam jum’at. Tujuannya hubungan masing-masing keluarga menjadi harmonis, terbuka, plong, tanpa beban kesalahan pada pasangannnya, dan untuk menjaga kesetiaan masing-masing anggota keluarga.
12. Saat menghadapi musibah dan kesusahan, selalu mengadakan musyawarah keluarga. Dan ketika terjadi perselisihan, maka anggota keluarga cepat-cepat memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan nafsu amarahnya.

Hak Suami Yang Harus Dipenuhi Istri :
  1. Ketaatan Istri Kepada Suaminya
  2. Isteri Harus Banyak Bersyukur Dan Tidak Banyak Menuntut
  3. Isteri Wajib Berbuat Baik Kepada Suaminya
  4. Istri Wajib Mendidik Anak dengan Baik

Hak Suami Yang Harus Dipenuhi Istri :
  1. Engkau memberinya makan apabila engkau makan.
  2. Engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian.
  3. Janganlah engkau memukul wajahnya,dan
  4. Janganlah engkau menjelek-jelekannya, dan
  5. Janganlah engkau tinggalkan dia melainkan di dalam rumah (jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Keluarga adalah berkumpulnya dua individu atau lebih yang diikat oleh tali pernikahan dalam upaya melestarikan kehidupan. Sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga dimana masing-masing pihak (suami-isteri) menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Cara membentuk keluarga yang sakinah antara lain selalu berpikir objektif dan berpikir jernih, jangan melihat masa lalu,kfokus pada kelebihan pasangan, saling percaya, hindari pihak ketiga, menjaga romantisme, selalu utamakan komunikasi, jaga spiritualitas rumah tangga, melaksanakan hak dan kewajiban suami istri. Selain itu, pasangan suami istri juga harus memperdalam ilmu dan penerapan agam dalam kehidupan pernikahan karena agama memiliki peran penting dalam membentuk keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah sangat penting, karena agama merupakan ketentuan-ketentuan Allah Swt yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

3.2 Saran
Untuk menuju keluarga sakinah, perlu perjuangan yang cukup berat. Dan yang paling berat adalah menjaga konsistensinya supaya keutuhan sebuah keluarga tidak tergoyahkan. Oleh karena itu, dimulai dari sejak dini, perlu ditanamkan pada anak-anak bahwa penting sekali menjaga stabilitas keluarga dengan cara memberika tauladan yang baik kepada generasi penerus kita, sebab mereka (anak-anak/remaja) adalah calon pemimpin masa depan yang akan menentukan ke arah mana mereka akan membawa masyarakatnya.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Post a Comment