Makalah Leptospira Sebagai Penyebab Leptospirosis



TUGAS MAKALAH
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI
LEPTOSPIRA SEBAGAI PENYEBAB LEPTOSPIROSIS




Disusun oleh:
Nama          : Syifa Waras Utami
NIM            : G1B014068
Kelas           : A


KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2015


Kata Pengantar

Segala  puji  bagi  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penulis  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan Allah swt, dosen mata kuliah Mikrobiologi, orang tua, dan teman-teman sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi dan agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang mikroba penyebab penyakit, yaitu bakteri Leptospira yang menyebabkan terjadinya penyakit lepstospirosis di masyarakat yang telah disajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, dan referensi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  mata kuliah Mikrobiologi, penulis meminta  masukan  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Purwokerto, 02 April 2015

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak wilayah yang sering dilanda banjir. Beberapa wilayah di Indonesia misalnya di kota besar DKI Jakarta hampir setiap tahunnya dilanda banjir. Banjir ini tentunya membawa dampak yang sangat merugikan bagi semua aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah timbulnya berbagai macam penyakit pasca banjir. International Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara insiden leptospirosis cukup tinggi dan merupakan peringkat mortalitas ketiga di dunia. Hal ini berdasarkan jumlah kasus leptopirosis di DKI Jakarta akibat banjir besar yang terjadi tahun 2002 mencapai 113 pasien leptospirosis dan 20 orang diantaranya meninggal (Case Fatality Rate Leptospirosis adalah 19,4%,). (Tri, 2012)
Keadaan banjir pada beberapa kecamatan di wilayah tersebut menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti: banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya kuman Leptospira berkembang biak. Masalah leptospirosis yang terjadi di DKI Jakarta selalu terjadi pada wilayah yang sama yang diakibatkan oleh faktor lingkungan yang buruk, perilaku yang buruk atau pengaruh karateristik individu.
Hospes reservoir dari bakeri Leptospira ini adalah tikus yang gemar dengan keadaan lingkungan yang lembab, becek, kotor. Penyebaran Leptospirosis (penyakit kencing tikus) diakibatkan karena urine hewan yang terinfeksi kuman Leptospira akan terbawa oleh genangan air dan mencemari lingkungan rumah. Dibutuhkan pengetahuan mengenai bakteri ini, patologi dari leptospirosis, epidemiologi, tindakan pengendalian, dan pencegahan yang tepat untuk menekan penyebaran bakteri ini.



1.2 Rumusan Masalah
            Masalah yang dirumuskan dalam pembahasan makalah Leptospira sebagai bakteri penyebab leptospirosis antara lain:
1.      Bagaimana morfologi dan sifat bakteri Leptospira?
2.      Bagaimana siklus hidup bakteri Leptospira?
3.      Bagaimana cara infeksi bakteri Leptospira pada manusia?
4.      Apa yang dimaksud dengan penyakit leptospirosis?
5.      Apa saja patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit leptospirosis?
6.      Bagaimana epidemiologi penyakit leptospirosis?
7.      Apa saja faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit leptospirosis di masyarakat?
8.      Bagaimana diagnosis penyakit leptospirosis?
9.      Apa saja upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan penularan penyakit leptospirosis?
10.  Bagaimana pengobatan penyakit leptospirosis?

1.3 Tujuan
            Tujuan dari pembahasan makalah Leptospira sebagai bakteri penyebab leptospirosis antara lain:
1.      Untuk mengetahui morfologi dan sifat bakteri Leptospira.
2.      Untuk mengetahui siklus hidup bakteri Leptospira.
3.      Untuk mengetahui cara infeksi bakteri Leptospira pada manusia.
4.      Untuk mengetahui penyakit leptospirosis.
5.      Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit leptospirosis.
6.      Untuk mengetahui epidemiologi penyakit leptospirosis.
7.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit leptospirosis di masyarakat.
8.      Untuk mengetahui diagnosis penyakit leptospirosis.
9.      Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan penularan   penyakit leptospirosis.
10.  Untuk mengetahui pengobatan penyakit leptospirosis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Morfologi dan Sifat Bakteri Leptospira
            Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae. Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat, bersifat motil, dan merupakan spiroketa gram negatif. Bakteri ini juga tipis, halus dan fleksibel dengan ukuran panjang 5-15 μm, lebar 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung Leptospira berbentuk bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi aktif. Kuman ini tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C. (Jawetz,2010). Pada media yang mengandung serum kelinci (Fletcher’s medium), juga pada media yang mengandung serum sapi (Ellinghausen- Mc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH medium), pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Genus Leptospira sendiri terdiri dari dua spesies yaitu L.interrogans (yang patogen) dan L.biflexa (yang bersifat saprofit/ nonpatogen). Spesies L.interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L.interrogans yang patogen pada manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, L.canicola, L.pomona, L.grippothyphosa, L.javanica, L.celledoni, L.ballum, L.pyrogenes, L.bataviae, L. hardjo, dan lain- lain. (Tri, 2012)
            Leptospira masuk ke dalam darah, berkembang biak dan menyebar di jaringan tubuh. Tubuh manusia akan memberikan respon imunologi, baik secara selular maupun humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta). Leptospira ini akan bertahan dan diekresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga bertahun-tahun. Leptospira dapat dihilangkan melalui mekanisme fagositosis dan imunitas humoral. (Kunadi, 2012)

2.2 Siklus Hidup Leptospira
Hewan pejamu kuman Leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman Leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil. Siklus hidupnya seperti pada gambar berikut :



Leptospirosis.JPG
 











2.3 Cara Infeksi Leptospira
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira yang biasanya masuk melalui conjunctiva atau kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh infeksi dapat pula terjadi apabila seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin tikus atau hewan lain yang sakit leptospirosis dalam waktu yang lama. (Mari, 2007)
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membran mukosa. Menurut Saroso (2003) penularan  leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu :
a.       Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5)Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

2.4 Pengertian Penyakit Leptospirosis
            Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif. Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus. (Stephen, 2008)
            Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi.1 Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau Neglected Infectious Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negera berkembang. (Ferry, 2013)
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 o1eh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan  (Agus, 2008). Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama mudfever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, field fever, canicola fever, dan icterohemorrhagic fever. (Aru, 2009)
lep.jpg
2.5 Patologi dan Gejala Klinis Leptospirosis
            Sistem saraf pusat, hati, dan ginjal merupakan organ yang paling sering terkena infeksi bakteri Leptospira pada manusia. Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar, misalnya infeksi L. icterohaemorrhagiae biasanya lebih berat daripada infeksi L. copenhageni. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibodi leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis.
Gejala klinik leptospirosis tidak spesifik, sering menyerupai influenza, meningitis aseptika, ensefalitis, dengue fever, hepatitis atau gastro enteritis. Gejala ringan yang timbul berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai dengan demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran. Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai Weil’s disease. Masa inkubasi leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 3 fase penyakit yang khas yaitu:
1. Fase leptospiremia
Pada fase ini Leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat akan membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat,
demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
2. Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis
untuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai dengan meningitis, yang dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga dapat dijumpai dalam urin. (Kunadi, 2012)
3. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik. Berikut perbedaannya.

Sindrom, fase
Manifestasi Klinik
Spesimen laboratorium
Leptospirosis anikterik
Fase leptospiremia (3-7 hari)


Fase imun (3-30 hari)

Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjungtiva suffusion
Demam ringan, nyeri kepala, muntah

Darah, LCS


Urin
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan fase imun ( sering menjadi satu atau overlapping) terdapat periode asimptomatik (1-3 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, ikterik gagal ginjal, hipotensi, manifestasi perdarahan, pneumonitis, leukositosis
Darah, LCS            Minggu pertama
Urin            Minggu kedua

2.6 Epidemiologi Leptospirosis
            Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance host dan incidental host. Dalam tubulus ginjal maintenance host, leptospirosis akan menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung. Biasanya, infeksi didapat pada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung dengan-maintenance host. Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host dan incidental host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah. (Stephen, 2008).
Penularan juga dapat terjadi melalui gigitan hewan yang sebelumnya telah terinfeksi leptospirosis atau kontak dengan kultur leptospirosis di laboratorium. Manusia yang mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini adalah pekerja di sawah, peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan. Aktivitas yang berisiko tertular penyakit ini antara lain : berenang di sungai, berburu, dan kegiatan di hutan. Sebagai contoh pada tahun 2000, 80 peserta Ecochallenge multi sport di Borneo, Malaysia yang berenang di sungai Segama terkena leptospirosis. Kelompok yang rentan terkena leptospirosis adalah peternakan, lingkungan banjir, dan lingkungan yang banyak tikus. (Kunadi, 2012)
Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari Negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air.


2.7 Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis
1.      Kondisi selokan buruk
Banyak selokan di Indonesia yang tidak memenuhi standar. Sebagai contoh, jumlah sampah yang banyak di selokan, ukuran selokan yang tidak pas, tidak ada penutup selokan, dan lainnya.  Hal ini membuat air yang seharusnya mengalir menjadi tersumbat atau meluber ke jalan. Tikus sangat senang dengan tempat yang gelap dan lembab. Bisa saja tikus buang air di selokan dan air selokan yang terkontaminasi dapat terinjak oleh manusia.
2. Keberadaan sampah dalam rumah
     Tikus sangat menyukai sampah dan makanannya terdapat dalam tumpukan sampah. Oleh karena itu, tikus bisa buang air di dalam rumah yang terdapat sampahnya. Urinnya dapat menempel di perabot rumah atau terbawa air banjir.
3. Keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah
     Adanya tikus di dalam dan sekitar rumah meningkatkan probabilitas adanya urin tikus di sekitar rumah yang terinfeksi bakteri Leptospira.
4. Kebiasaan tidak memakai alas kaki
     kebiasaan tidak memakai alas kaki ini juga menjadi faktor infeksi leptospirosis. Air yang terkontaminasi urin tikus dapat mengenai kulit kaki dan bakteri Leprospira dapat masuk ke dalam jaringan kulit dan menimbulkan infeksi.
5. Kebiasaan mandi/mencuci di sungai
     Saat mandi/mencuci di sungai pasti membutuhkan air yang tersedia di sungai. Air sungai tersebut tidak dijamin bebas dari mikroba. Air tersebut dapat mengandung urin tikus. Air yang terkontaminasi akan menempel pada badan kita dan terjadi infeksi bakter Leptospira.
6. Pekerjaan berisiko
            Pekerjaan yang berisiko terkena infeksi leptospirosis antara lain pekerja di sawah, peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan.
7. Tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
     Sebab tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis, maka masyarakat tidak mengetahui mengenai penyakit leptospirosis, cara infeksinya, gejala klinisnya, pencegahannya, dan lain-lain sehingga masyarakat tetap melakukan aktivitasnya yang tidak sehat dan berpotensi terkena infeksi. (Agus, 2008)

2.8 Diagnosis Penyakit Leptospirosis
Salah satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai sistem organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis, meningitis, pneumonia, influenza, bahkan pankreatitis. Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya pekerjaan dan tempat tinggal. Itu dapat menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan foto fobia dapat dicurigai kearah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lainlain.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen darah segar (pada permukaan masa infeksi) yang dibuat sediaan darah tebal dengan teknik Giemsa, juga dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan cairan serebrospinal (minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke 40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent antibodi stain).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang biasa digunakan: (Levett,2003. Tansupaseri,2005),,,,,,,,,,,,,,,,,,
1. MAT (Microscopic Agglutination Test)
2. IgM dot ELISA dipstick test
Hasil penelitian terbaru menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis leptospirosis. (Kunadi, 2012)

2.9 Pencegahan Leptospirosis
Pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1)      Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2)      Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti  penisilin, ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
3)      Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4)      Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
5)      Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sedemikian rupa  sehinnga tidak menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
   Penularan dapat dicegah dengan :
1)      Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker)
2)      Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3)      Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
4)      Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5)      Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6)      Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7)      Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8)      Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan- bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9)      Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira..
10) Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusia
1)      Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
2)      Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor telepon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi
.

2.10 Pengobatan Leptospirosis
            Pada umumnya leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau penicillin. Berhubung ujicobanya memakan waktu dan penyakitnya mungkin parah, dokter mungkin mulai memberi antibiotika itu sebelum meneguhkannya dengan ujicoba. Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai dini. Doxycycline merupakan agen profilaktik yang efektif jika pajanan infeksi tampaknya telah terjadi. (Stephen, 2008)
            Doksisiklin telah berhasil digunakan dengan baik sebagai agen kemoprofilaktik untuk personil militer yang mengadakan pelatihan di daerah tropis. Doksisiklin oral dengan dosis 200mg seminggu sekali bila terdapat pemaparan yang berat, memberikan profilaksis yang efektif. Leptospiura dihilangkan dengan ampisin dan beberapa obat beta-laktamnya, tetapi tidak dengan tetrasiklin atau obat beta-laktam tertentu. (Sylvia, 2011)



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae. Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat, bersifat motil, dan merupakan spiroketa gram negative. Penularan  leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi selokan buruk, keberadaan sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai, pekerjaan berisiko, tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung. Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi, memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong sampah, menjaga sanitasi, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau penicillin.

3.2 Saran
            Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan  dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau infeksi yang berat karena telatnya penanganan. Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri sendiri maupun lingkungan karena bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang kotor dan dapat terbawa oleh air. Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat melakukan promosi kesehatan mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat, memperbaiki tatanan kota yang buruk, dan meningkatkan pelayanan medis dalam mengobati penderita leptospirosis.



DAFTAR PUSTAKA


Febrian, Ferry dan Sholihah. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. KES MAS Vol. 7 No. 1: 1 – 54.

Gillespie, Stephen H. dan Bamford, K. B. 2008. At A Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Erlangga: Jakarta.

Muliawan, Sylvia Y. 2011. Bakteri Spiral Patogen. Erlangga: Jakarta.

Oktini, Mari, dkk. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005. MAKARA, KESEHATAN, VOL. 11, NO. 1: 17-24.

Priyanto, Agus, dkk. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis. Universitas Diponegoro: Semarang.

Ramadhani, Tri dan Yunianto, Bambang.  2012. Reservoir dan Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian Luar Biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 4:162-168.

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing: Jakarta.

Tanzil, Kunadi. 2012. Ekologi Dan Patogenitas Kuman Leptospira. Bagian Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Tahun 29 Nomor 324.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Post a Comment