TUGAS TERSTRUKTUR
MATA KULIAH EPIDEMILOGI
PENYAKIT MENULAT DAN TIDAK MENULAR
PENYAKIT AKIBAT LUKA
DAN CEDERA
Disusun oleh :
SUSRIYENY
AFWAN G1B014009
NABILA
NUR AMALIA G1B014034
SYIFA
WARAS UTAMI G1B014068
RETRY
DWIRAHMA G1B014097
Kelompok 5
Kelas A
KEMENTERIAN RISET,
TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU
KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN
MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sebagai
makhluk individu dan sosial, masyarakat memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi
untuk melangsungkan kehidupannya. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan
jasmani, rohani, dan materiil. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia melakukan
berbagai aktivitas, misalnya aktivitas olahraga, bekerja, aktivitas sehari-hari
seperti memasak, memotong rumput, dan aktivitas lainnya. Aktivitas yang
dilakukan manusia dapat menimbulkan masalah apabila terjadi kelalaian pada
manusia. Salah satu masalah yang ditimbulkan berupa luka dan cedera pada organ tubuh
manusia,
Menurut
Hidayat (2006), luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan
tubuh yang dapat menyebabkan terganggu fungsi tubuh sehingga dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari. Sedangkan cedera menurut WHO (2008), cedera
didefinisikan sebagai kerusakan fisik yang dihasilkan ketika tubuh manusia
tiba-tiba mengalami energi dalam jumlah yang melebihi ambang toleransi
fisiologis atau kurangnya satu atau lebih unsure penting, seperti oksigen.
Menurut
Riskesdas pada tahun 2013, data yang dianalisis seluruhnya 1.027.748 orang
untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang
dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang mengalami cedera akibat
kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang.
Luka
dan cedera harus segera ditangani agar tidak timbul masalah lainnya. Namun,
masih banyak masyarakat yang sering menghiraukan luka dan cedera yang terjadi
pada organ tubuh. Luka dan cedera yang tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan penyakit akibat luka dan cedera. Penyakit luka dan cedera adalah
penyakit yang terjadi setelah munculnya luka dan cedera . Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi yaitu masuknya bakteri ke dalam tubuh manusia dan
menimbulkan reaksi patologis pada tubuh manusia. Penyakit akibat luka dan
cedera dapat menyebabkan reaksi akut dan kronis bahkan kematian. Oleh karena
itu, makalah ini akan membahas penyakit akibat luka dan cedera.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian luka dan
cedera.
b.
Apa jenis-jenis luka
dan cedera.
c.
Epidemiologi luka dan
cedera.
d.
Bagaimana cara mencegah
dan mengobati luka dan cedera.
e.
Apa saja contoh dari penyakit
akibat luka dan cedera.
3.
Tujuan
a.
Mengetahui pengertian
luka dan cedera.
b.
Mengetahui jenis-jenis
luka dan cedera.
c.
Mengetahui bagaimana
epidemiologi dari luka dan cedera.
d.
Mengetahui bagaimana
cara mencegah dan mengobati luka dan cedera.
e.
Mengetahui contoh
penyakit akibat luka dan cedera.
ISI
1.
Pengertian Luka dan
Cedera.
Luka
adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu
(Potter & Perry, 2006).
Luka
adalah hilang atau terputusnya kontinuitas suatu jaringan (Mansjoer et al,
2000). Luka merupakan suatu keadaan
terputusnya kontinuitas jaringan tubuh yang dapat menyebabkan tergannggunya
fungsi tubuh sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari (Hidayat, 2006).
Luka
adalah gangguan dalan kontinuitas sel-sel kemudian diikuti dengan penyembuhan
luka yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut (Brunner dan Suddart, 2001).
Menururt WHO (2008), cedera adalah
didefinisikan sebagai kerusakan fisik yang dihasilkan ketika tubuh manusia
tiba-tiba mengalami energi dalam jumlah yang melebihi ambang toleransi
fisiologis atau yang lain hasil kurangnya unsur-unsur satu atau lebih penting,
seperti oksigen. Energi yang bersangkutan dapat termal, mekanik, kimia atau
radiasi.
2.
Jenis-jenis Luka dan
Cedera.
A. Jenis-jenis
Luka
Luka sering digambarkan
berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).
a)
Berdasarkan derajat
kontaminasi
1.
Luka bersih
Luka
bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan
luka sayat selektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk
terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius
maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam
keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
2.
Luka bersih
terkontaminasi
Luka
bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran
pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan
luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan
timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
3.
Luka terkontaminasi
Luka
terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda
infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau
kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan
infeksi luka 10% - 17%.
4.
Luka kotor
Luka
kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka
dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera,
abses dan trauma lama.
b)
Berdasarkan Penyebab
1. Vulnus
ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan
lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
2. Vulnus
scissum adalah luka sayat atau iris yang di
tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya
dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda
tajam (seng, kaca), dimana bentuk luka teratur .
3. Vulnus
laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi
yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan
benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas
dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus
lapisan mukosa hingga lapisan otot.
4. Vulnus
punctum atau luka tusuk adalah luka akibat
tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya.
Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda
tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan
luka tidak begitu lebar.
5. Vulnus
morsum adalah luka karena gigitan binatang.
Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
6. Vulnus
combutio adalah luka karena terbakar oleh api
atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki
bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna
kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan
c)
Berdasarkan lama waktu
penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Luka
Akut. Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan
biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka
akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
2. Luka
Kronik. Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka
gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus
vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus,
neuropati perifer ulkus dekubitus (Briant, 2007).
d) Berdasarkan
kedalaman dan luasnya luka
1. Stadium
I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada
lapisan epidermis kulit.
2. Stadium
II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya
tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3. Stadium
III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi
kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi
tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan
epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
4. Stadium
IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang
dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
e)
Berdasarkan Mekanisme
Luka dibagi Atas :
1. Luka
insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam.
2. Luka
bersih (aseptik) secara umum tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh
darah yang luka diikat (Ligasi).
3. Luka
memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak
4. Luka
lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam.
5. Luka
tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau
yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
6. Luka
gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau
oleh kawat.
7. Luka
tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada
bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya
lukanya akan melebar.
8. Luka
Bakar adalah kerusakan jaringan kulit yang disebabkan oleh sesuatu yang panas
(bersifat membakar) yang menimbulkan panas berlebihan (Ismail, 2008)
B. Jenis-jenis
Cedera
1.
Sprain
Menurut Millar (2011), keseleo adalah cedera ligament yaitu
ikatan kuat jaringan yang menghubungkan tulang lain pada sendi. Tingkat
keparahan keseleo dapat digolongkan oleh jumlah jaringan merobek, berdampak
pada sendi stabilitas, rasa sakit dan bengkak. Derajat keseleo dapat dibedakan
menjadi:
-
Derajat pertama (lembut) yaitu jaringan sedikit merobek,
rasa sakit atau bengkak; bersama stabilitas baik.
-
Derajat kedua yaitu jangkauan kerusakan luas, moderat
limbung dan sedang untuk sakit parah dan pembengkakan.
-
Derajat ketiga (paling parah) yaitu ligament benar-benar
pecah, bersama tidak stabil, nyeri dan pembengkakan; jaringan lain sering rusak
2. Strain
Menurut Millar (2011), strain adalah kerusakan untuk serat
otot dan serat lainnya yang melampirkan otot untuk tulang. Nama lain untuk
suatu galur meliputi "robek otot," "otot tarik" dan
"pecah tendon”. Derajat strain dapat dibedakan menjadi:
-
Derajat pertama (lembut) yaitu jaringan kecil yang robek;
kelembutan ringan; sakit dengan penuh jangkauan gerak.
-
Derajat kedua yaitu robek otot atau tendon; gerak
menyakitkan, terbatas; mungkin beberapa pembengkakan atau depresi di tempat
cedera.
-
Derajat ketiga (paling parah) yaitu gerakan terbatas atau
tidak ada; sakit akan parah pada awalnya, tapi mungkin menyakitkan setelah
cedera awal.
3. Overuse
Menurut DiFiori (2014), cedera overuse merupakan cedera yang
terjadi karena penggunaan yang berlebihan. Cedera
karena penggunaan berlebihan disebabkan oleh adanya gaya yang berulang-ulang
pada tulang dan jaringan pengikatnya seperti tendon (penghubung antara tulang
dengan otot) dan ligamen (penghubung antartulang) sehingga menimbulkan luka
yang berukuran kecil yang jika tidak diistirahatkan dapat menyebabkan kerusakan
dan rasa sakit. Cedera ini biasanya timbul ketika terjadi perubahan terhadap
pola olahraga (seperti peningkatan frekuensi atau intensitas) yang tidak dapat
ditoleransi tubuh Cedera
dapat melibatkan unit otot-tendon, tulang, bursa, struktur neurovaskular, dan
physis. Cedera overuse termasuk stres patah tulang, physeal stres tertentu,
osteochondritis, beberapa cedera apophyseal, dan upaya trombosis.
4. Thermal
Burn
Luka bakar termal adalah presentasi yang luar biasa di
bidang kedokteran. Luka bakar termal ini disebabkan oleh panas. Kontak dengan
pemanas listrik pad, panas knalpot dari kendaraan bermotor, atau api terbuka
adalah penyebab yang paling umum (Silverstein, 2008). Luka bakar termal parah,
terutama luka bakar penuh-tebal melebihi 30% dari luas permukaan tubuh total,
memprovokasi respons peradangan sistemik mendalam yang ditandai dengan leukosit
aktivasi dan plasma kebocoran pembuluh jaringan atau organ-organ yang jauh dari
luka. (Byers, 2011)
5. Contusion
(luka memar)
Luka memar (bruise/contusion) adalah suatu perdarahan akibat pecahnyapembuluh
darah kapiler dan vena dalam jaringan bawah kulit atau kutis yang disebabkan
oleh kekerasan benda tumpul (blunt force injury), perdarahan yang terjadimenyebabkan darah meresap ke jaringan
sekitarnya. Letak,
bentuk dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor sepertibesarnya
kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan
ikat longgar, jaringan lemak),
usia, jenis kelamin, corak dan warnakulit, kerapuhan pembuluh darah, penyakit (hipertensi,
penyakit kardiovaskular,diathesis hemoragik).
6. Dislokasi
Dislokasi sendi atau
luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk persendian terhadap
tulang lain (Sjamsuhidajat, 2011). Dislokasi sendi juga sering terjadi pada olahragawan yaitu
terpelesetnya bonggol sendi dari tempatnya. Apabila sebuah sendi pernah
mengalami dislokasi, maka ligament pada sendi tersebut akan kendor, sehingga
sendi tersebut mudah mengalami dislokasi kembali (dislokasi habitualis). Penanganan
yang dapat dilakukan pada saat terjadi dislokasi adalah segera menarik
persendian tersebut dengan sumbu memanjang. Gejala dari dislokasi terdiri dari:
- Kehilangan gerakan pada sendi
- Adanya cacat pada kaki
- Pembengkakan dan terasa empuk
- Nyeri pada tempat
cedera
7. Fracture
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006). Sedangkan menurut Helmi (2013)
fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang atau patah tulang akibat trauma
atau tenaga fisik. Fraktur dibagi ke dalam 3 klasifikasi sebagai berikut :
-
Klasifikasi Jenis
Jenis fraktur pada ini adalah fraktur transversal yaitu
fraktur yang arahnya melintang pada tulang.
-
Klasifikasi Penyebab
Penyebab fraktur pada kasus ini karena fraktur traumatik,
yaitu fraktur yang disebabkan trauma yang mengenai tulang secara tiba-tiba dan
tulang tidak bisa menahan sehingga terjadi fraktur
-
Klasifikasi klinis
Fraktur menurut klasifikasi klinis adalah Fraktur terbuka,
yaitu fraktur yang memiliki luka pada kulit dan jaringan lunak di sekitar area
fraktur.
8. Traumatic
Brain Injury
TBI
adalah cedera otak akut yang disebabkan dari energi mekanik ke kepala dari
kekuatan fisik eksternal.kriteria operasional untuk identifikasi klinis
termasuk satu atau lebih hal berikut:
· Kebingungan
atau disorientasi
· Hilang
kesadaran
· Post-traumatic
amnesia
· Kelainan
neurologis lainnya, seperti tanda-tanda neurologis fokal, kejang dan / atau
lesi intrakranial.
Manifestasi
ini dari TBI tidak harus karena obat, alkohol atau obat-obatan, yang disebabkan
oleh cedera atau pengobatan untuk luka lain (misalnya, sistemik luka, luka di
wajah atau intubasi), atau disebabkan oleh masalah lain (misalnya, trauma
psikologis, hambatan bahasa atau co-exist kondisi medis). TBI dapat terjadi
dalam konteks luka tembus craniocerebral tapi dalam situasi ini. (New Zealand Guidelines Group, 2006).
Menurut Centers for Disease Control
and Prevention (2015) ,TBI adalah cedera yang mengganggu fungsi normal otak.
Hal ini dapat disebabkan oleh benjolan, pukulan, atau sentakan kepala atau
cedera kepala tajam. Tingkat keparahan TBI dapat diklasifikasikan ringan,
sedang atau berat atas dasar presentasi klinis patient'sneurologic tanda-tanda
dan gejala. Gejala TBI bervariasi dari satu orang ke yang lain. TBIs moderat
dan parah dapat mengakibatkan gejala bertahan, mengakibatkan cacat parsial atau
permanen.
9.
Laserasi
Luka laserasi adalah luka robek
tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka
yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan
jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang
dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat
menimbulkan jaringan parut.
10. Kram Otot
Kram otot adalah kontraksi secara
terus menerus yang dialami oleh otot atau sekelompok otot dan mengakibatkan
rasa nyeri. Kram otot biasanya terjadi karena seseorang mengalami kelelahan
yang berlebihan (overtraining), kekurangan garam dan mineral, kurang pemanasan
atau penguluran, atau gangguan (terhambatnya) sirkulasi darah yang menuju ke
otot-otot. Pada pemain sepak bola kram
otot bisa terjadi pada: otot perut, otot paha, betis, jari tangan, atau jari
kaki.
3.
Epidemiologi
Menurut
riskesdas tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.748 orang
untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang
dan tidak cedera 942.984 orang. Responden yang mengalami cedera akibat
kecelakaan transportasi sepeda motor sebanyak 34.409 orang. Khusus untuk
analisis pemakian helm diseleksi hanya pada kelompok umur 1 tahun keatas yang
jumlahnya sekitar 34.398 orang. Skema jumlah data yang dianalisis sebagai
berikut:
A.
Prevalensi Cedera dan Penyebabnya
Penyebab
terjadinya cedera meliputi penyebab disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang
tidak bisa ditentukan (undertermind
intent) (WHO, 2004).
Penyebab
cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak, penyerangan, tindakan kekerasan/
pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain:
terbakar/tersiram air panas /bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang
binatang, kecelakan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja,
terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana
alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat
ditentukan (undeterminated intent)
yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab
yang disengaja atau tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera
menurut provinsi disajikan pada tabel 1.
Prevalensi
cedera secara nasional adalah 8,2 %, prevalensi tertinggi ditemukan di sulawesi
selatan (12,8%) dan terendah di jambi (4,5%). Penyebab cedera terbanyak yaitu
jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera
karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan
kejatuhan (2,5%).
Penyebab
cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56.4%) dan
terendah di Papua (19,4%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi
tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan (10,1%) dan terendah ditemukan di Papua
(2,5%). Proporsi jatuh tertinggi di NTT (55,5%) dan terendah di bengkulu
(26,6%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Papua (29%)
dan terendah di DI Yogyakarta (4,7%). Penyebab
cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di papua (2%) dan terendah
(tanpa kasus) di kalimantan Timur. Untuk cedera karena gigitan hewan tertinggi
di DI Yogyakarta (2,6%), terendah terjadi di 3 provinsi yaitu Lampung, Banten,
dan Kalimantan Selatan (0,1%). Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di papua
(10,1%) dan terendah di Sumatera Selatan (1,3%). Keracunan sebagian besar tidak
ditemukan kasusnya, proporsi tertinggi di Jambi (0,1%).
Adapun
untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik
disajikan pada tabel 2.
Prevalensi
cedera tertinggi berdasarkan karateristik responden yaitu pada kelompok umur
15-24 tahun (11,7%), pendidikan tanat SMP/MTs (9,1%), yang tidak bekerja atau
bekerja sebagai pegawai (8,4%), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) pada
kuintil indeks kepemilikkan menengah atas (8,7%).
Ditinjau
dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena jatuh (91,3%)
pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (49,3%), tidak sekolah (61,6%), tidak
bekerja (39,9%), tinggi di perdesaan (42,3%) dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah (50,8%). Selain itu penyebab cedera karena kecelakaan sepeda motor
menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu (67,4%) pada
kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat pendidikan tamat SMA/MA
(63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), tinggal diperkotaan (42,8%), dan
kuintil indeks kepemilikkan teratas (46,9%). Sedangkan penyebab cedera
transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun
(14,7%), laki laki (7,3%), tidak tamat SD (12,7), tidak bekerja (7,5%), serta
bertempat tinggal di perrkotaan dan kuintil indeks epemilikkan teratas
masing-masing 7,8%.
Tabel 1
Tabel
2
Prevalensi cedera dikumpulkan pada
Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013 dengan pertanyaan yang sama. Gambaran
kecenderunan prevalensi cedera dan penyebabnya disajikan pada gambar 1.
Kecenderungan prevalensi cedera
menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,5% (RKD 2007) menjadi 8,2% (RKD 2013).
Penyebab cedera yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan
2013 hanya untuk transportasi darat (transportasi sepeda motor dan darat
lainnya), jatuh dan terkena benda tajam/tumpul. Adapun untuk penyebab cedera
akibat transportasi darat tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9%
menjadi 47,7%.
Sedangkan untuk penyebab cedera yang
menunjukkan penurunan proporsi terlihat pada jatuh yaitu dari 58% menjadi 40,9%
dan terkena benda tajam/tumpul dari 20,6% menjadi hanya 7,3%.
Gambar 1.
a.
Jenis Cedera
Jenis
cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yanng telah dialami yang
dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Seseorang yang cedera
bisa mengalami minimal satu jenis (multiple
injuries). Gambaran proporsi jenis cedera yang dialami penduduk menurut
provinsi disajikan pada tabel 3.
Proporsi
jenis cedera yang di Indonesia didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 70,9%,
terbanyak terdapat di Banten (76,2%) dan yang terendah di Papua yaitu 59,4%.
Jenis cedera terbanyak kedua adalah terkilir rata-rata di indonesia 27,5%.
Ditemukan terkilir paling banyak di Kalimantan Selatan sebesar 39,3%. Luka
robek menduduki urutan ketiga, ditemukan di Papuan sekitar 48,5% dan terendah
di DIY (14,6%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 5,8%,
anggota tubuh terputus, cedera mata, dan gegar otak masing-masing proporsinya
di Indonesia 0,3%, 0,6%, dan 0,4%.
Adapun
untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel
2 yang menunjukkan proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden.
Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan tertinggi adalah luka
lecet/memar, terkilir dan luka robek.
Berdasarkan
kelompok umur, proporsi lecet/memar, luka robek, anggota tubuh terputus dan
cedera mata menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1
tahun proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut.
Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin
bertambah umur proporsinya semakin tinggi ditunjukkan pada jenis cedera patah
tulang, sedangkan terkilir tinggi di usia <1 tahun selanjutnya semakin
meningkat dengan bertambahnya umur. Kelompok umur yang mempunyai proporsi
tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar pada umur 15-24 tahun (77,1%), luka
robek pada umur 25-34 tahun (26,9%), patah tulang pada umur 75 tahun keatas
(10%), terkilir pada umr 65-74 tahun (43,2%), anggota tubuh terputus pada usia
produktif (25-54 tahun) sekitar 0,4%, cedera mata pada umur 35-64 tahun sekitar
0,8%, geger otak pada umur 65-74 tahun (0,9%) dan jenis cedera lainnya pada
umur 75 tahun keatas (3,8%).
Tabel
3
Berdasarkan
jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi
yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada
jenis cedera lecet/memar, terkilir dan lainnya.
Berdasarkan
pendidikan sebagian besr proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat
seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi
jenis cedera meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi,
kecuali pada luka robek. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis
cedera tidak menunjukkan pola tertentu.
Berdasarkan
pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera sebagian besar menunjukkan tidak ada
perbedaan antar perkotaan dan perdesaan, kecuali pada proporsi lecet/memar yang
lebih tinggi di perkotaan dan luka robek lebih tinggi proporsinya di pedesaan.
Tabel
4
Menurut
kuintil indeks kepemilikkan tampak bahwa pola yang jelas hanya ditunjukkan pada
3 jenis cedera lainnya yaitu luka lecet, luka robek, dan terkilir. Luka lecet menunjukkan
pada positif dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin besar
proporsi luka lecetnya, sedangkan untuk luka robek dan terkilir sebaliknya
dengan semakin tinggi kuintil indeks kepemilikkan tampak jenis lukanya semakin
menurun proporsinya.
b. Tempat
Terjadinya Cedera
Tempat
terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang
mengakibatkan cedera terjadi atau disebut juga dengan istilah TKP (Tempat
Kejadian Perkara). Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut provinsi
disajikan pada tabel 5.
Secara
nasional, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,8% selanjutnya di
rumah yaitu 36,5%, area pertanian (6,9%) dan sekolah (5,4%). Provinsi yang
memiliki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitarnya tertinggi adalah
lampung (44%) dan terendah di Bengkulu (23%). Adapun untuk proporsi tempat
cedera di sekolah tertinggi di Kalimantan Tengah (8,2%) dan terendah di
Sulawesi Barat (2,7%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi
paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Provinsi yanng mempunyai
proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka nasional
sebanyak 21 Provinsi. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak
di Bengkulu (56%) dan terendah di Papua (21,5%). Kejadian cedera di tempat umum
dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan
proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi
angka nasional yaitu 30,4% terjadi di Papua dan terendah di DKI Jakarta (0,3%).
Gambaran
proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada tabel 6.
Menurut kelompok umur tampak bahwa rumah menunjukkan angka proporsi yang tinggi
terjadinya cedera pada kelompok umur balita dan lansia. Adapun tempat kejadian
cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun, demikian
juga dengan tempat kejadian cedera di area olahraga. Adapun jalan raya
merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan
tampak tertinggi khusus pada umur 15-24 yaitu 66,7%. Tempat umum, industri dan
area pertanian menunjukkan pola sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok
umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur 65-74
tahun (21%).
Menurut
jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada
laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun
berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi
pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan
pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat
kejadian cdera di area olahraga, jalan raya dan tempat umum.
Menurut
status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian
juga pada sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya, tepat umum dan
industri memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk
area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai
buruh/petani (21,4%).
Tabel
5
Berdasarkan
tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera yang menunjukkan leih
tinggi pada perkotaan dibandingkan pedesaan kecuali pada area pertanian.
Menurut
kuintil indeks kepemilikkan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi
semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di
rumah dan area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi
tingkat ekonominya kejadian cedera di kedua tempat tersebut semakin rendah.
Tabel
6
4.
Pencegahan dan
Pengobatan Luka.
1.
Pencegahan Luka.
Hal yang harus
dilakukan untuk mencegah infeksi pada luka
a) Jaga
kebersihan badan
Bersihkan
badan dengan waslap 2 kali sehari dan gunakan sabun, tetapi hindari luka agar
tidak terkena air.
b) Makan
makanan yang mengandung gizi seperti ikan, telur daging, tahu, tempe sayur,
buah dan susu.
c) Lakukan
mobilisasi sedini mungkin sesuai dengan kemampuan.
d) Minum
air paling sedikit 2 liter perhari.
e) Minum
obat secara teratur.
f) Waspada
jika ada tanda-tanda badan panas, luka bengkak dan tambah sakit.
g) Perhatikan
kebersihan luka
2. Penyembuhan
Luka.
Penyembuhan
luka adalah proses yang komplek dan dinamis dengan perubahan lingkungan luka
dan status kesehatan individu. Fisiologi dari penyembuhan luka yang normal
adalah melalui fase hemostasis, inflamasi, granulasi dan maturasi yang
merupakan suatu kerangka untuk memahami prinsip dasar perawatan luka. (Pemila, 2007).
Kondisi
fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan
dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah) mengakibatkan
gangguan sirkualsi dan oksigenisasi pada jaringan. Pada orang-orang yang gemuk
penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah
infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa
dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau
diabetes mellitus. Oksigenasi
jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan
kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi
dan menurunkan ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
Hematoma (bekuan darah), merupakan hal yang sering terjadi, sehingga darah pada
luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika
terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat
diabsorbsi oleh tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. Berdasarkan
faktor benda asing bahwa benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan
menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini
timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah putih),
yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Ismail,
2008).
3.
Proses
Penyembuhan Luka.
Menurut Sotani (2009),
dalam proses penyembuhan luka dapat diklasifikasikan menjadi penyembuhan primer
dimana luka diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan dan penyembuhan
sekunder dimana penyembuhan luka tanpa ada bantuan dari luar (mengandalkan
antibodi).
Gambar
1. Proses Penyembuhan Luka
a)
Proses
Inflamasi
Pembuluh darah terputus,
menyebabkan pendarahan dan tubuh berusaha ntuk menghentikannya (sejak terjadi
luka sampai hari ke – lima) dengan karakteristik dari proses ini adalah: hari
ke 0-5, respon segera setelah terjadi injuri pembekuan darah untuk mencegah
kehilangan darah, dan memiliki ciri-ciri tumor, rubor, dolor, color, functio
laesa. Selanjutnya dalam fase awal terjadi haemostasis, pada fase akhir
terjadi fagositosis dan lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.
b)
Proses
Proliferasi
Terjadi proliferasi fibroplast
(menautkan tepi luka) dengan karakteristik dari proses ini adalah: terjadi pada
hari 3 – 14, disebut juga dengan fase granulasi adanya pembentukan jaringan
granulasi pada luka-luka nampak merah segar, mengkilat, jaringan granulasi terdiri
dari kombinasi: fibroblasts, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,
fibronectin and hyularonic acid. Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama
ditandai dengan penebalan lapisan epidermis pada tepian luka dan secara umum
pada luka insisi, epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama.
c)
Proses
Maturasi
Proses ini berlangsung dari
beberapa minggu sampai dengan 2 tahun dengan terbentuknya kolagen yang baru
yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan (tensile
strength), dilanjutkan terbentuk jaringan parut (scar tissue) 50-80% sama
kuatnya dengan jaringan sebelumnya serta terdapat pengurangan secara bertahap
pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan
Menurut Moya, Morison (2004)
proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi kedalam 3 fase utama, yaitu :
a.
Fase Inflamasi (durasi 0-3 hari)
Jaringan yang rusak dan sel mati melepaskan histamine
dan mediator lain, sehingga dapat menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah
sekeliling yang masih utuh serta meningkatnya penyediaan darah ke daerah
tersebut, sehingga menyebabkan merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah
meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke interstitial menyebabkan
oedema local.
b.
Fase Destruksi (1-6 hari)
Pembersihan terhadap jaringan mati atau yang mengalami
devitalisasi dan bakteri oleh polimorf dan makrofag. Poimorf menelan dan
menghancurkan bakteri. Tingkat aktvitas polimorf yang tinggi hidupnya singkat
saja dan penyembuhan dpat berjalan terus tanpa keberadaan sel tersebut.
c.
Fase oliferasi (durasi 3-24 hari)
Fibroblast memperbanyak diri dan membentuk
jarring-jaring untuk sel-sel yang berimigrasi. Fibroblast mlakukan sntesis
kolagen dan mukopolisakarida.
d.
Fase maturasi (durasi 24-365 hari)
Dalam setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya kulit,
sel epitel pada pinggir luka dan sisa-sisa folikel membelah dan mulai
berimigrasi di atas jaringan granulasi baru.
4.
Tipe Penyembuhan Luka
Menurut Moya,
Morison (2004) proses penyembuhan luka akan melalui beberapa intensi
penyembuhan, antara lain :
a.
Intensi Pertama (Primary Intention)
Luka terjadi
dengan pengrusakan jaringan yang minimum, dibuat secara aseptic, penutupan
terjadi dengan baik, jaringan granulasi tidak tampak, dan pembentuka jaringan
parut minimal.
b.
Intensi Kedua (Granulasi)
Pada luka terjadi
pembentukan pus atau tepi luka tidak saling merapat, proses penyembuhannya
membutuhkan waktu yang lama.
c.
Intensi Ketiga (Secondary Suture)
Adalah intension primer yang
tertunda. Terjadi karena dua lapisan jaringan
granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang terkontaminasi
terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Ini juga dapat terjadi
ketika luka primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh jaringan
granulasi dan kemudian dijahit. Intension tersier biasanya mengakibatkan skar
yang lebih luas dan lebih dalam daripada intension primer atau sekunder (Pemila, 2007).
Terjadi pada luka
yang dalam yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali, dua
permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan sehingga akan membentuk
jaringan parut yang lebih dalam dan luas.
5.
Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Terdapat sejumlah
faktor sistemik dan lokal yang mengganggu penyembuhan luka. Faktor lokal yang
berpengaruh terhadap penyembuhan luka antara lain infeksi, factor mekanik,
benda asing, macam, lokasi dan ukuran besarnya luka. Faktor sistemik yang
mempengaruhi penyembuhan luka antara lain nutrisi, status metabolik, status
sirkulasi darah dan hormon glukokortikoid. Banyak ditemukan permasalahan dalam
penyembuhan luka, seperti waktu penyembuhan yang lama, terutama bila terjadi
penyembuhan secara sekunder. Nyeri menjadi stressor yang memicu timbulnya
gejala klinis patofisiologis, memicu modulasi respon imun, sehingga menyebabkan
penurunan sistem imun yang berakibat pemanjangan waktu penyembuhan luka. (C
Trisari, 2006).
Menurut Craven dan
Hirnle (2000), yang dikutip oleh Umilatifah (2008) yang mempengaruhi
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
a.
Faktor Luka
1)
Kontaminasi Luka
Tehnik pembalutan yang tidak
adekuat, bila terlalu kecil memungkinkan invasi dan kontaminasi bakteri, jika
terlalu kencang dapat mengurangi suplay oksigen yan membawa nutrisi dan
oksigen.
2)
Edema
Penurunan suplay oksigen
melalui gerakan meningkat tekanan intersisial pada pembuluh darah.
3)
Hemoragi
Akumulasi
darah menciptakan ruang rugi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan.
b.
Faktor Umum
1)
Usia
Semakin
tua, maka semakin kuran lentur jaringan yang ada di dalam tubuh seseorang.
2)
Nutrisi
Pada
penyembuhan luka kebutuhan akan nutrisi meningkat seiring dengan stress
fisiologi yang menyebabkan defisiensi protein, nutrisi yang kurang data
menghambat sintesis kolagen dan terjadi penurunan fungsi leukosit.
3)
Obesitas
Pada
seseorang yang obesitas, jaringan adiposa biasanya mengalami avaskuler sehingga
mekanisme pertahanan terhadap mikroba sangat lemah dan mengganggu suplay
nutrisi kearah luka, akibatnya penyembuhan luka menjadi lambat.
4)
Medikasi
Pada
beberapa obat dapat mempengaruhi penyembuhn luka, seperti sterod, anti
koagulan, anti biotik sprektum luas
c.
Faktor Lokal
1)
Sifat injuri
Kedalaman
luka dan luas jaringan yang rusak mempengaruhi penyembuhan luka, bahkan bentuk
luka.
2)
Adanya infeksi
Jika
pada luka terdapat kuman patogen penyebab infeksi, maka penyembuhan luka
menjadi lambat.
3)
Lingkungan
setempat
Dengan
adanya drainase pada luka. pH yang seharusnya antara 7,0 sampai 7,6 menjadi
berubah sehingg mempengaruhi penyembuhan luka. Selain itu, adanya tekanan pada
area luka dapat mempengaruhi sirkulasi darah pada daerah luka.
Proses
penyembuhan luka meliputi dua kategori yaitu pemulihan jaringan (regenerasi) dan perbaikn (repair).
Regenerasi adalah pergantian sel-sel yang hilang dan
jaringan dengan sel-sel yang bertipe sama,
jaringan pulih seperti semula baik struktur
maupun fungsinya, sedangkan
repair adalah tipe penyembuhan yang biasanya
menghasilkan terbentuknya scar, pemulihan
atau penggantian oleh jaringan Ikat.
(Mawardi
Hasan, 2002).
5.
Komplikasi Luka
Menurut Umilatifah (2008)
komplikasi pada luka dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Hematoma
Balutan
dilihat terhadap pendarahn (hemoragi) pada interval yang sering selama 24 jam
setelah pembedahan. Setiap pendarahan dalam jumlah yang tidak semestinya dilaporkan.
Pada waktunya, sedikit pendarahan terjadi pada bawah kulit. Hemoragi ini
biasanya berhenti secara sontan tetapi mengakibatkan pembentukan bekuan didalam
luka. Jika bekuan kecil, maka akan terserap dan tidak harus ditangani. Ketika
lukanya besar dan luka biasanya menonjol dan penyembuhan akan terhambat kecuali
bekuan ini dibuang. Proses penyembuhan biasanya dengan granulasi atau penutupan
sekunder dapat dilakukan.
b. Infeksi
Stapihylococcuss aureus menyebabkan banyak infeksi luka pasca operatif.
Infeksi lainnya dapat terjadi akibat Escherichia
coli, Proteus vulgaris. Bila terjadi proses inflamatori, hal ini biasanya
menyebabkan gejala dalam 36 sampai 48 jam. Frekuensi nadi dan suhu tubuh
meningkat, dan luka biasanya membengkak, hangat dan nyeri tekan, tanda-tanda
local mungkin tidak terdapat ketika infeksi sudah mendalam.
c. Dehiscene dan Eviserasi
Dehiscene
adalah gangguan insisi atau luka bedah dan eviserasi adalah penonjolan isi
luka. Komplikasi ini sering terjadi pada jahitan yang lepas, infeksi dan yang lebih
sering lagi karena batuk keras dan mengejan.
6.
Penyakit Akibat Luka
dan Cedera
a. Tetanus
1) Pengertian
Tetanus
Tetanus
adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat
(Ritarwan, 2004).
Tetanus dikatagorikan menjadi bentuk generalisata, neonatal (bentuk
generalisata pada anak-anak kurang dari setahun), local, dan cephalic (dimana
tetanus terlokalisasi pada region kepala). Tetanus generalisata dan neonatal
mempengaruhi seluruh otot ditubuh dan menyebabkan terjadinya opistotonus
(tulang belakang melengkung kebelakang akibat kekakuan otot-otot ekstensor
leher dan punggung) dan dapat menyebabkan kegagalan respirasi dan kematian
akibat kekakuan dan spasme otot-otot pernafasan dan laring. (Hassel, Bjornar,
2013).
Tetanus
Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik
yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan
kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
Tetanus
neonatorum adalah kejang-kejang yang dijumpai pada BBL yang bukan karena
trauma, kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa
neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau
perawatannya yang tidak bersih. (Ngastijah, 1987).
2) Etiologi
Tetanus
Tetanus
neonatorum disebabkan oleh basil Clostridium
tetani, yang masuk ke tubuh melalui luka. Penyakit ini menginfeksi bayi
baru lahir yang salah satunya disebabkan oleh pemotongan tali pusat dengan alat
yang tidak steril. Kasus tetanus neonatorum banyak ditemukan di negara
berkembang khususnya negara dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
yang rendah. (Kementerian RI, 2015).
Clostrodium tetani
adalah bakteri anaerob, yang berarti dapat tumbuh hanya jika oksigen tidak ada
dalam lingkungan. Oleh karena itu, kondisi yang paling tidak bisa untuk
pertumbuhan bakteri Clostrodium tetani
adalah jika kebanyakan jaringan mendapatkan pasokan kaya oksigen dari darah.
Namun beberapa kondisi seperti luka tusuk yang mendalam di kaki, oksigen bisa
cepat habis karena kerusakan jaringan yang membatasi aliran darah. (Guilfoile,
2008)
3) Patofisiologis
Toksin Tetanus
Melalui
suatu mekanisme yang mirip dengan toksin botulinum, toksin tetanus dibawa
hingga ke saraf terminal dari lower motor neuron, sel saraf yang mengaktivasi
otot secara sadar. Toksin tetanus adalah sebuah zinc-dependent
metalloproteinase yang bekerja pada sebuah protein (synaptobrevin/vesicle
associated membrane protein – VAMP) yang diperlukan untuk pelepasan
neurotransmitter dari nerve endings melalui penggabungan vesikel sinap dengan
membrane plasma neuronal. Gejala awal dari infeksi tetanus local dapat berupa
paralisis ringan, yang disebabkan oleh gangguan pelepasan vesicular asetilkolin
pada neuromuscular junction, sama seperti pada toksin botulinum. Tetapi, tidak
seperti toksin botulinum, toksin tetanus ditransportasi secara retrograde dan
luas pada akson lower motor neuron dan
mencapai medulla spinalis atau batang otak. Disini, toksin tetanus
ditransportasikan menyebrangi sinap dan ditangkap oleh nerve ending dari saraf
glycinergic dan/atau GABAergic inhibitor yang mengatur aktivitas lower motor
neuron. Setelah berada didalam saraf terminal inhibitor, toksin tetanus
membelah VAMP, dan menghambat pelepasan GABA dan glycine. Hasilnya adalah
deinervasi sebagian fungsi lower motor neuron, yang menyebabkan hiperaktivitas
LMN dan peningkatan aktivitas otot berupa kekakuan otot dan spame/kejang. Masih
belum jelas apakah toksin tetanus yang melus pada medulla spinalis dan batang
otak juga ditangkap kedalam excitatory nerve ending, seperti yang berasal dari
upper motor neuron atau yang menyampaikan implus dari spindle otot dan
membangunkan bagian sensori sudut reflex monosinaptik sederhana dari reflek tendon
(Hassel, Bjornar, 2013).
4) Faktor
Resiko Tetanus
a. Pemeriksaan Antenatal
Pemeriksaan
antenatal adalah pemeriksan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keaadan
ibu hamil dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koeksi terhadap
penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil
dapat melalui masa kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik dan selamat,
serta menghasilkan bayi yang sehat. Pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh tenaga
terlatih dan terdidik dalam bidanng kebidanan, yaitu pembantu bidn, bidan
dokter, dan perawat yang sudah terlatih (Depkes RI, 1994).
Pemeriksaan
antenatal, hendaknya memenuhi tiga aspek pokok, yaitu :
a)
Aspek medis yang
meliputi diagnosis kehamilan, penemuan kelainan secara dini, dan pemerian terai
sesuai diagnosis.
b) Penyuluhan, penjagaan kesehatan diri serta janinnya,
pengenalan tanda-tanda bhaya dan faktor risiko yang dimiliki, dan pencarian pertolongan
yang memadai secara tepat waktu.
c) Rujukan : ibu hamil dengan risiko tinggi harus dirujuk
ke tempat pelayanan yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
Adapun perawatan kehamilan
meliputi pemeriksaan fisik, yang meliputi pemeriksaan muka, gigi, mulut, leher,
payudara, jantung, hati, paru-paru, perut, dan organ reproduksi. Pemeriksaan
laboratoriun meliputi pemeriksaan urin dan haemoglobin, sedangkan pemeriksaan
kebidanan meliputi 5T yaitu penimbangan berat badan, pengukurantekanan darah,
pengukuran tinggi fundus uteri, emberian imunisasi TT dan pemberian tablet
tambah darah. Selain itu ibu hamil mendapat penyuluhan tentang jenis dan jumlah
makanan bergizi tinggi yang diperlukan selama hamil, kebersihan perorangan,
perawatan payudara, dan air susu ibu, keluarga berencana, kebiasaan hidup sehat
selama hamil serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kesakitan dan kematian
ibu maupun bayi.
Dari rangkaian pemeriksaan
antenatal, pemberian imunisasi TT adalah hal yang paling penting dilakukan
untuk mencegah infeksi tetanus neonatorum.
Pemeriksaan antenatal dapat
dilakukan di puskesmas, rumah sakit, rumah bersalin, maupun di rumah penduduk,
peneriksaan kehamilan dapat dilakukan oleh dokter, bidan, atau perawat
kesehatan. Pemeriksaan dilakukan minimal sebanyak empat kali, yaitu pad
triwulan pertama, triwulan kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga.
a.
Imunisasi
Tetanus Toksoid Pada Ibu Hamil
Pemberian imunisasi tetanus toksoid pada ibu hamil
dimaksudkan agar bayi yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan terhadap toksin
tetanus yang didapatkan secara pasif sewaktu masih berada dalam kandungan. Dua
dosis TT sekurangnya dengan jarak waktu satu bulan serta sekurangnya sebulan
menjelang persalinan, hamper 100% efektif mencegah tetanus neonatorum. Jika
tidak adanya imunisasi tetanus pada ibu merupakan faktor risiko yang berarti
untuk tetanus pada neonates yang akhirnya menyebabkan kematian (Depkes, 1994).
Imunisasi TT dua dosis (TT2) memberikn perlindungan
selama tiga tahun, artinya apabila dalam waktu tiga tahun seorang ibu akan
melahirkan, bayi yang dilahirkan akan terlindung dari tetanus neonatorum.
Sebaliknya imunisasi TT tidak lengkap (TT1) hanya langkah awal untuk
mengembangkan kekebalan tubuh terhadap infeksi (Depkes RI, 1996).
b.
Jenis Penolong
Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di
Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 50%, selebihnya ditolong oleh dukun bayi
baik yang terlatih maupun yang tidak terlatih. Hal ini menyebabkan masih
nbanyak ditemukan persalinan yang tiba-tiba mengalami komplikasi dan memerlukan
penanganan professional tetapi tidak ditangani secara memadai dan tepat waktu,
sehingga mengakibatkan kematian.
Dengan mengupayakan agar persalinan yang ditolong oleh
dukun bayi didampingi bidan, maka selain pertolongan persalinan 3 bersih lebih
terjamin, diharapkan persalinan yang aman juga terjamin.
Pertolongan yang bersih, meliputi : bersih tangan
penolong, bersih daerah perineum ibu, jalan lahir tidak tersentuh oleh sesuatu
yang tidak bersih, bersih alas tempat melahirkan, dan memotong tali pusat
menggunakan alat yang bersih (Depkes RI, 2000).
Banyak peneliti menemukan kenyataan bahwa ibu-ibu
tetap lebih menyukai dukun bayi yang tidak terlatih meskipun
fasilitas-fasilitas untuk persalinan di lembaga-lembagakedokteran, atau meskipun
ada tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang terlatih (Ross, 1988).
Beberapa hal yang mungkin menjadi alasan masyarakat
memilih tenaga dukun bayi untuk pertolongan persalinannya (Adji, 1995) :
a)
Apabila
kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas, bayarannya jauh lebih mahal dan harus
berupa uang. Selain itu tugas bidan hanyalah untuk membantu persalinan, adahal
setiap bayi masih harus menjalani upacara adat.
b)
Selain alasan
ekonomi, masyarakat memilih dukun bayi dengan maksud agar tidak menyinggung
perasaan dukun yang akan dimintai tolong untuk memimpin upaca adat, seta
sebagai upaya untuk menjaga hubungan baik
c.
Tempat
persalinan
Persalinan di rumah mengandung risiko tetanus
neonatorum yang tinggi, tetapi persalinan di rumah sakit tidak menjamin
perlindungan untuk tidak terkena tetanus
neonatorum, karena lamanya tinggal di rumah sakit sangatlah pendek (setelah
bayi lahir langsung pulang). Sampai di
rumah, biasanya perawatan ibu dan bayi diserahkan kepda dukun beranak (Silvia,
1982).
Meskipun persalinan itu berlangsung di pusat pelayanan
kesehatan atau klinik bersalin, tidak jarang sekembalinya ke rumah, para wanita
yang baru melahirkan itu menjalani perawatan secara tradisional. Namun, di
daerah pedesaan apalagi yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan yang berlokasi
di ibukota kecamatan, proses persalinan selalu berlangsung di rumah (Ulaen,
1998).
d.
Alat Pemotongan
Tali Pusat
Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai
kini masih dilakukan oleh beberapa dukun bayi terutama di pedesaan pada
masyarakat Sunda alat pemotong (sembilu) ini dikenal dengan hinis (Soedarno,
1998). Penelitian di pedesaan Pulau Lombok juga memperlihatkan keadaan yang
sama. Tali pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara mengikat bagian
pangkal dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong bagian
tengahnya dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bamboo yang diambil
dari rangka atap rumah bagian depan (Pratiwi, 1998).
Penelitian di Desa Kmantan Kebalai Kabupaten Kerinci
menunjukkan bahwa masih terdapat penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat
bayi baru lahir, sembilu diambil dari bamboo yang merupakan alat penghembus api
milik keluarga yang sedang digunakan di dapur. Sembilu tidak perlu dicuci
karena dinggap sudah bersih. Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan
dengan gunting atau benang, para dukun masih sering tidak membersihkan
alat-alat itu lebih dahulu, sama halnya saat mereka menggunakan sembilu (Adji,
1998).
e. Perawatan Tali Pusat
Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat memunyai
pengaruh terhadap risiko tetanus neonatorum yaitu : alat pemotong tali pusat,
praktek menyimpul, atau membuka simpulnya, srta bahan yang diurapkan atau
dioleskan pada pangkal potongan tali pusat yang belum kering (Foster, 1988).
Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut
tetap bersih, tidak terkena kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor, luka
tali pusat dicuci dengan air bersih yang mengalih dan segera keringkan dengan
kain/kasa bersih dan kering. Tidak boleh membubuhkan atau mengoleskan ramuan,
abu dapur, dan sebagainya pada luka tali pusat sebab dapat menyebabkan infeksi
dan tetanus yang data berakhit dengan kematian neonatal. Infeksi tali pusat
merupakan faktor risiko untuk terjadinya tetanus neonatorum (Depkes RI, 2000).
Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh
masyarakat pedesaan, terutama olh dukun bayi atau keluarga. Telah didapati
bahwa 60% dukun bayi memakai ramuan seperti kunyit, kapur, dan abu sebagai
bahan perawatan tali pusat. Alasan digunakannya obat/bahan tradisional pada
masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan cocok, sudah merupakan kebiasaan
keluarga, mudah didapat, murah, dan masyarakat lebih yakin terhadap khasiat
obat atau bahan tradisional tersebut (Soedarno, 1998).
Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku
untuk melumuri bekas potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering
mengakibatkan pusar bayi mnjadi bengkak dan bewarna merah. Jika tidak dirawat
dengan baik, keadaan ini dapat mengakibatkan kematian. Adanya kematian bayi
akibat serangan tetanus neonatorum banyak terjadi karena praktek perawatan luka
dengan cara seperti di atas (Danandjaja, 1980)
5) Patogenesis
Biasanya
disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan
dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus (Ritarwan,
2004).
Clostridium
tetani biasanya memasuki tubuh melalui luka. Dalam
kehadiran kondisi anaerobic (oksigen rendah), spora berkecambah. Racun
diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun bertindak pada
beberapa situs dalam pusat sistem saraf, termasuk perifer motor akhir, sumsum
tulang belakang dan otak, dan simpatik gugup sistem. Manifestasi klinis khas
dari tetanus disebabkan ketika racun tetanus mengganggu rilis neurotransmitter,
memblokir inhibitor implus. Hal ini menyebabkan untuk kontraksi otot tanpa
tentangan dan kejang. Kejang dapat terjadi, dan sistem saraf otonom mungkin
juga akan terpengaruh .
6) Pencegahan
Menurut
Depkes RI (2004) pelayanan imunisasi sebagai salah upaya preventif untuk
mencegah penyakit. Melalui
pemberian dan kekebalan tubuh yang harus dilaksanakan secara terus menerus,
menyeluruh dan dilaksanakan sesuai dengan standar, sehingga mampu memberikan
perlindungan kesehatan dan dapat memutus mata rantai penularan, yang dilakukan
pada usia balita maupun pada orang dewasa.
Imunisasi
merupakan salah satu solusi untuk mencegah terjadi tetanus Neonatorum (TN). Ibu
hamil penting mendapat imunisasi untuk mencegah terjadi Tetanus pada ibu dan bayinya.
Karena dengan melaksanakan imunisasi pada ibu saat kehamilan, molekul
imunoglobulin akan disalurkan dari ibu kepada bayi melalui plasenta sebagai
kekebalan pasif untuk bayi (Wiknjosastro, 2002). Kekebalan yang disalurkan ibu
kepada bayi tersebut dapat menjadi proteksi untuk bayi terhadap stressor
(persalinan yang tidak steril dan perawatan tali pusat yang tidak bersih) yang
dapat menyebabkan tetanus Neonatorum (TN). (Maulida, 2012).
Imunisasi
Tetanus toxoid (TT) adalah proses membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan
terhadap infeksi tetanus. Vaksin Tetanus adalah suatu toksin kuman tetanus yang
telah dilemahkan, kemudian dimurnikan. Pemberian dilakukan pada masa kehamilan
memasuki trimester I s/d trimester III
(Maulida, 2012).
Toksin tetanus dapat ditemukan dalam cairan organ, khususnya, dalam
darah dan jaringan sekitarnya luka. Untuk tujuan netralisasi, heterolog
anti-tetanus serum (ATS) atau hyperimmune tetanus manusia immunoglobulin (TIG)
harus diberikan sesegera mungkin, idealnya sebelum toksin tetanus telah mulai
migrasi aksonal ke arah tulang belakang, setelah netralisasi tidak mungkin lagi
. Tidak ada perbedaan jelas dalam efektivitas klinis antara ATS dan TIG. TIG
mampu mempertahankan tingkat serum lagi, sedangkan ATS memerlukan pengujian sensitivitas
sebelumnya karena risiko mengembangkan reaksi serum heterolog (Gomes, 2011).
7) Pengobatan
a. Toksin botulinum,
Bakteri
Clostridium botulinum yang
memproduksi toksin botulinum diisolasi,
racun botulinum menghambat
transmisi syaraf otot. Dalam jumlah
besar tetap berada pada lower motor
neuron terminal, menghambat pelepasan asetilkolin dan aktivitas otot. Oleh
karena itu, toksin botulinum dapat mengurangi gejala-gejala tetanus. Trismus
dapat diobati dengan injeksi toksin botulinum kedalam otot temporalis dan otot
masseter. Hal ini sebaiknya dilakukan di awal-awal perjalanan penyakit tetanus
untuk mengurangi risiko aspirasi pulmoner, lidah tergigit secara tidak sadar,
anoreksia, dan karies gigi (Hassel, Bjornar, 2013).
b. Tetanus immunoglobulin (TIG) manusia
TIG
diberikan secara intramuscular dengan dosis 250-500 unit. TIG ini diberikan
dengan maksud untuk menetralisasi toksin yang beredar dalam darah
c. Antitetanus serum (ATS)
ATS
diberikan bila tidak tersedia TIG. Selama pemberian harus diperhatikan, karena
ATS ini berasal dari serum kuda sehingga harus diantisipasi kemungkinan
terjasinya syok anafilaksis. Dosis ATS 3000-5000 unit secara intramuscular.
d. Antikonvulsan
Obat ini
diberikan untuk meleraksasi otot dan kepekaan jaringan saraf terhadap rangsang.
Obat yang lazim digunakan adalah diazepam (dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam beberapa dosis dan diberikan intravena atau intramuscular) dan
fenobarbital (dengan dosis 10-20 mg/kg BB/hari) dibagi 4 kali.
e. Antibiotika
Antibiotika
digunakan untuk membunuh kuman Clostridium tetani dalam bentuk vegetative.
Antibiotika yang paling sering digunakan adalah penisilin procain. Dosis
200.000 U/kg BB/hari diberikan intramuscular selama 10 hari atau 3 hari setelah
panas turun.
f. Oksigen
Diberikan
bila terjadi asfiksia atau sianosis
8) Diagnosis
Diagnosis neonatorum berdasarkan temuan klinis, termasuk kekakuan otot
dan kejang otot menyakitkan. Kehadiran penyebab tidak mengkonfirmasikan
diagnosis, atau apakah ketiadaan menghalangi diagnosis pada pasien yang mewujudkan
fitur klinis dari tetanus. Budaya material dari infektif budaya focus atau
darah tidak memiliki diagnosis nilai. Dalam diferensial diagnosis tetanus
neontorum, salah satu harus mempertimbangkan efek samping obat (misalnya, untuk
metoklopramid), gangguan metabolic atau hidro-elektrolitik (misalnya,
hipokalsemia), tenaga kerja-mengambil alih cedera saraf, dan
meningoenchephalitis (Gomes, 2011)
9) Gejala
Gejala tetanus neonatorum adalah ditandai dengan masa tuntas yang
biasanya terjadi paling tidak selama 3-10 hari. Dan terkadang gejala tetanus
ini bisa terjadi selama beberapa minggu jika memang infeksi yang terjadi
ringan. Selain itu, peyakit ini biasanya juga terjadi secara mendadak dengan
gejala tetanus seperti ketegangan pada otot yang kemudian akan semakin
bertambah dan paling utama terjadi pada rahang serta leher. Selama paling tidak
24 jam penyakit tetanus neonatorum kemudian akan semakin nyata dengan gejala
tetanus seperti terjadinya trismus. Trismus adalah gejala awal yang paling
sering dijumpai, baik pada tetanus local/cephalic maupun tetanus
generalisasi/neonatal (Hassel, Bjornar, 2013).
Anamnesis yang lebih spesifik terjadi seperti dibawah ini :
1.
Kondisi tubuh
bayi biasanya mendadak panas
2.
Bayi yang
awalnya bisa menyusui menjadi tidak menyusui karena terjadinya kekejangan pada
otot rahang dan juga tenggorokan
3.
Mulut bayi yang
menyusui seperti mulut ikan. Hal ini merupakan salah satu gejala tetanus yang
khas
4.
Kejang yang
terjadi biasanya disaat terkena paparan sinar cahaya, suara serta sentuhan
5.
Terkadang
disertai juga dengan sesak nafas dan wajah membiru
6.
Kaku kuduk
sampai mengalami kepala mendongak ke atas
7.
Dinding padda
abdomen kaku, lebh mengeras dan terkadang mengalami kejang
8.
Suhu pada bayi
yang lama kelamaan menjadi semakin meningkat
9.
Dahi berkerut
dan alis mata yang terangkat, kemudian sudut mulut yan tertarik menuju ke
bawah, maka rhesus sardonikus
10. Ekstremitas yang biasanya terjadi secaa terulur dan
juga menjadi kaku
11. Kemudian bayi menjadi lebih sensitive adanya
ransangan, lebih gelisah dan terkadang juga menangis.
Penyakit tetanus neonatorum ini sendiri mempunyai
kriteria seperti bayi lahir hidup, atau juga dengan kriteria menangis atau
meyusu dengan normal paling tidak sekurangnya 2hari, dan pada bulan pertamanya
kehidupan akan muncul gejala tetanus sulit menyusu dan disertai dengan kekakuan
atau juga terjadinya kejang pada otot.
10) Prognosis
Terdapat
beberapa sistem penilaian tetanus.
Skala
yang diusulkan Ablett adalah yang
paling
banyak digunakan
(Tabel 1). Selain
skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan
Dakar score. Kedua sistem
skoring
ini memasukkan kriteria periode
inkubasi
dan periode onset, begitu pula
manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips
score
juga memasukkan status imunisasi
pasien.
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan
>18, severitas berat.
Dakar
score 0-1, severitas ringan dengan
mortalitas
10%; 2-3, severitas sedang dengan
mortalitas
10-20%; 4, severitas berat dengan
mortalitas
20-40%; 5-6, severitas sangat berat
dengan
mortalitas >50%. (Laksmi, 2014)
b. Selulitis
1) Pengertian
Selulitis
Selulitis adalah inflamasi akut,
menyebarkan di lapisan bawah kulit dan jaringan subkutan terkait. Selulitis
merupakan adalah infeksi kulit dan jaringan lunak yang menghasilkan angka
kesakitan yang tinggi dan biaya financial yang tinggi untuk mengakses pelayanan
kesehatan. (Phoenix, 2012).
Selulitis
adalah parah peradangan dermis dan hypodermis hemat fasia pesawat karena
infektif, umumnya bakteri penyebab. Biasanya selulitis merupakan peradangan
akut, subakut, atau kemungkinan juga kronis (Atzori,
2013). Erisipelas adalah istilah untuk selulitis Streptokokus yang superficial
dimana tepinya berbatas tegas. (Graham-Brown and Burns, 2005).
Selulitis
merupakan infeksi bakteri akut pada dermis dan jaringan subkutan yang ditandai
lesi kemerahan berbatas tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang. Umumnya
selulitis ditemukan pada usia lanjut, perempuan lebih sering daripada
laki-laki, dengan riwayat lesu, demam, dan rasa nyeri sebagai gejala prodromal,
disertai pembesaran kelenjar getah bening setempat. Selulitis dapat terjadi
pada bagian tubuh manapun dengan predileksi pada tungkai bawah diikuti lengan,
kepala, dan leher. Selain itu, selulitis biasanya timbul pada lokasi dengan
lesi yang telah ada sebelummya, yaitu dermatitis, ulkus stasis (termasuk ulkus
varikosum), luka tusuk, gigitan binatang, atau trauma. Ulkus varikosum ialah
ulkus pada tungkai bawah yang disebabkan gangguan aliran darah venosa.
(Mitaart, 2014).
2) Etiologi
Selulitis
Selullitis
disebabkan oleh beberapa organism. Pada umumnya, kasus selulitis disebabkan
oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcusaureus. (Phoenix, 2012).
Kadang-kadang, bakteri lain ikut terlibat seperti Haemophilus influenza yaitu
bakteri penyebab yang penting dari selulitis fasial pada anak-anak yang sering
berhubungan dengan otitis media ipsilateral. Pada orang-orang dengan
imunokompromasi berbagai macam bakteri dapat menyebabkan selulitis.
(Graham-Brown and Burns, 2005). Berikut mekanisme dari selulitis
3) Faktor
Risiko
Organisme
penyebab bisa masuk ke dalam kulit melalui lecet-lecet ringan atau retakan
kulit pada jari kaki yang terkena tinea pedis. Pada banyak kasus, ulkus tungkai
merupakan pintu masuk bakteri. Faktor predisposisi yang sering adalah edema
tungkai. Selulitis juga banyak didapatkan pada orangtua yang sering mengalami
edema tungkai yang berasal dari jantung, vena, dan limfe. (Graham-Brown and
Burns, 2005).
Menurut
Nursing Certified Practice (2014),
faktor risiko dari selulitis antara lain:
-
Lokal trauma (seperti laserasi, gigitan binatang, luka)
-
Infeksi kulit, seperti impetigo, scabies, dan tinea pedis
-
Ulcer di bawah kulit
-
Kulit sensitive
-
Pejamu Immunocompromised
-
Diabetes mellitus
-
Inflamation (seperti eksim)Edema sekunder atau limfedema
4) Gejala
Pada
umumnya semua bentuk ditandai dengan
kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan
kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan
demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul dapat dijumpai
limfadenopati limfangitis.
Menurut Remote Nursing Certified Practice (2014), gejala selulitis terbagi menjadi
gejala lokal dan indikasi sistemik.
a. Gejala lokal
·
Eritema dan edema daerah
·
Hangat jika disentuh
·
Mungkin fluctuant (tegang, tegas untuk palpasi)
·
Mungkin menyerupai peau d'orange
·
Tepi memajukan lesi menyebar, tidak tajam dibatasi
·
Muncul sedikit nanah
b. Indikasi istemik:
·
Peningkatan suhu
·
Peningkatan nadi
·
Limfadenopati kelenjar getah bening regional dan/atau
lymphangitis
5) Diagnosis
Menurut Phoenix,
(2012), diagnosis selulitis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Diagnosis
klinis
Selulitis paling umum
mempengaruhi ekstremitas bawah, dan sering menjadi akut, perih, eritematosa,
dan bengkak
daerah kulit. Dalam kasus yang parah, lecet, bisul, edema, terkait
limfadenitis, dan limfadenopati dapat hadir. Fitur konstitusional berupa demam dan malaise. Pada tahap akhir fitur luas dari sepsis termasuk hipotensi dan takikardia juga dapat hadir.
Mengingat potensi pengamatan kegagalan diagnosis klinis, penyelidikan selanjutnya kadang-kadang dianjurkan untuk membantu mengkonfirmasi atau membantah diagnosis.
daerah kulit. Dalam kasus yang parah, lecet, bisul, edema, terkait
limfadenitis, dan limfadenopati dapat hadir. Fitur konstitusional berupa demam dan malaise. Pada tahap akhir fitur luas dari sepsis termasuk hipotensi dan takikardia juga dapat hadir.
Mengingat potensi pengamatan kegagalan diagnosis klinis, penyelidikan selanjutnya kadang-kadang dianjurkan untuk membantu mengkonfirmasi atau membantah diagnosis.
b. Investigasi
Darah
Dalam sebuah studi
prospektif dari 150 orang yang dirawat darurat
departemen yang meneliti kelayakan menggunakan C reaktif
tingkat protein dan sel darah putih dihitung sebagai indikator dari bakteri infeksi termasuk selulitis, jumlah sel darah putih memiliki kekhususan suatu dari 84,5% dan sensitivitas 43,0% dan C reactive protein memiliki sensitivitas 67,1%, spesifisitas 94,8% (prediksi positif nilai 94,6% dan negatif nilai prediksi 67,9%). Tingkat protein C reaktif adalah indikator yang lebih baik dari bakteri
Infeksi daripada jumlah sel darah putih meningkat tetapi tingkat normal C reaktif protein tidak bisa mengesampingkan infeksi.
departemen yang meneliti kelayakan menggunakan C reaktif
tingkat protein dan sel darah putih dihitung sebagai indikator dari bakteri infeksi termasuk selulitis, jumlah sel darah putih memiliki kekhususan suatu dari 84,5% dan sensitivitas 43,0% dan C reactive protein memiliki sensitivitas 67,1%, spesifisitas 94,8% (prediksi positif nilai 94,6% dan negatif nilai prediksi 67,9%). Tingkat protein C reaktif adalah indikator yang lebih baik dari bakteri
Infeksi daripada jumlah sel darah putih meningkat tetapi tingkat normal C reaktif protein tidak bisa mengesampingkan infeksi.
c. Mikrobiologi
Sensitivitas dari swab
menunjukkan perlawanan terhadap antibiotic empiris yang awalnya telah
digunakan, mendorong perubahan pada
antibiotik, sehingga dianjurkan untuk menggunakan swab pada luka terbuka selulitis kemudian diamati di bawah mikroskop.
antibiotik, sehingga dianjurkan untuk menggunakan swab pada luka terbuka selulitis kemudian diamati di bawah mikroskop.
d. Imaging
Teknik penggambaran berguna ketika ada kecurigaan dari
abses yang mendasari terkait dengan selulitis, necrotising
fasciitis, atau ketika diagnosis selulitis tidak pasti. Ultrasound dapat memandu pengelolaan selulitis dengan deteksi abses okultisme, pencegahan invasif prosedur, dan menyediakan pedoman untuk penggambaran lebih lanjut atau konsultasi. Studi penggambaran lain, seperti MRI (magnetic resonance
imaging) mungkin berguna pada mereka dengan diagnosis samar-samar dari selulitis atau dengan kecurigaan necrotising fasciitis. Menurut pedoman CREST, dokter harus waspada terhadap
kemungkinan necrotising fasciitis pada penyajian tegang
edema, nekrosis kulit, krepitus, parestesia dengan tinggi
sel darah putih menghitung lebih besar dari 14 × 109 / L.
abses yang mendasari terkait dengan selulitis, necrotising
fasciitis, atau ketika diagnosis selulitis tidak pasti. Ultrasound dapat memandu pengelolaan selulitis dengan deteksi abses okultisme, pencegahan invasif prosedur, dan menyediakan pedoman untuk penggambaran lebih lanjut atau konsultasi. Studi penggambaran lain, seperti MRI (magnetic resonance
imaging) mungkin berguna pada mereka dengan diagnosis samar-samar dari selulitis atau dengan kecurigaan necrotising fasciitis. Menurut pedoman CREST, dokter harus waspada terhadap
kemungkinan necrotising fasciitis pada penyajian tegang
edema, nekrosis kulit, krepitus, parestesia dengan tinggi
sel darah putih menghitung lebih besar dari 14 × 109 / L.
Menurut Remote Nursing Certified Practice (2014),
tes diagnostis yang dilakukan antara lain:
- Usap (swab) luka untuk diteliti atau
diuji.
- Menentukaan tingkat glukosa darah apakah infeksi berulang
atau merupakan gejala sugestif diabetes mellitus.
6) Pengobatan
Menurut Nursing Certified Practice (2014),
pengobatan selulitis terdiri dari intervensi nonfarmakologis dan farmakologis.
a. Intervensi
nonfarmakologis
-
Berikan kompres garam
hangat atau dingin ke daerah yang terkena selama 15 menit untuk kenyamanan
-
Tandai batas eritema
dengan pena untuk memantau penyebaran peradangan
-
Tinggikan dan
istirahatkan anggota badan yang terkena
-
Pada edema sekunder,
hindari pemakaian stocking
b. Intervensi
Farmakologis
-
Analgesik
·
Acetaminophen 325 mg
1-2 tablet po q4-6 h prn, atau
·
Ibuprofen 200 mg, 1-2
tablet po q 4-6 h prn
c.
Antibiotik
oral jika tanpa MRSA dan selulitis bernanah
-
Cloxacillin
500 mg po qid for 5-7 hari , atau
-
Cephalexin
500 mg po qid for 5-7 hari
d. Pasien
dengan alergi penicillin dan cephalexin
-
Clindamycin 300 mg PO
QID for 7-10 hari
e. Pasien
dengan MRSA dan selulitis bernanah
-
Trimethoprim 160 mg
/sulfamethoxazole 800mg (DS) 1 tab po bid untuk 10 hari
-
Doxycycline 100 mg po
bid untuk 5-7 hari
Menurut CREST (2005), pengobatan menurut
tingkatan penyakit selulitis antara lain:
Pasien kelas I biasanya dapat dikelola dengan antimikroba
lisan secara rawat jalan. Kelas II pasien cocok untuk jangka pendek (hingga 48
jam) rawat inap dan debit pada rawat jalan terapi parenteral antimicrobial
(Opat), di mana layanan ini tersedia. Kelas III dan kelas IV pasien memerlukan
rawat inap sampai daerah yang terinfeksi secara klinis meningkatkan,
tanda-tanda infeksi sistemik yang menyelesaikan dan setiap komorbiditas yang
stabil. Pasien dengan infeksi necrotising diduga memerlukan penilaian bedah
mendesak dan luas dari daerah yang terkena infeksi.
7) Pencegahan
Jika Anda selulitis berulang, dokter Anda dapat
merekomendasikan antibiotik pencegahan. Untuk membantu mencegah selulitis dan
infeksi lain, lakukan tindakan pencegahan ini ketika Anda memiliki kulit yang
luka:
a. Mencuci luka Anda sehari-hari dengan
sabun dan air. Lakukan ini dengan lembut sebagai bagian dari mandi Anda normal.
b. Menerapkan perlindungan krim atau
salep. Untuk kebanyakan luka-luka permukaan, salep antibiotik (Neosporin,
Polysporin, lain) memberikan perlindungan yang memadai.
c. Menutupi luka Anda dengan perban.
Mengganti perban setidaknya sehari.
d. Perhatikan tanda-tanda infeksi.
Kemerahan, nyeri dan drainase semua sinyal infeksi yang mungkin dan kebutuhan
untuk evaluasi medis.
Penderita diabetes dan orang-orang dengan sirkulasi perlu
mengambil tindakan pencegahan ekstra untuk mencegah cedera kulit.
Langkah-langkah perawatan kulit yang baik meliputi:
-
Memeriksa kaki Anda setiap hari. Periksa secara berkala kaki
Anda untuk tanda-tanda cedera sehingga Anda dapat menangkap infeksi awal.
-
Melembabkan kulit Anda secara teratur. Pelumas kulit Anda
membantu mencegah retak dan mengupas.
-
Memotong kuku dan kuku kaki Anda dengan hati-hati.
Berhati-hati untuk tidak melukai kulit di sekitarnya.
-
Melindungi tangan dan kaki. Mengenakan alas kaki yang tepat
dan sarung tangan.
-
Segera mengobati infeksi pada permukaan kulit (dangkal),
seperti kaki atlet. Infeksi kulit dangkal dapat dengan mudah menyebar dari
orang ke orang. Jangan menunda untuk memulai pengobatan.
8) Prognosis
a. Kelas I pasien tidak memiliki
tanda-tanda toksisitas sistemik, tidak memiliki komorbiditas yang tidak
terkendali dan dapat biasanya ditangani dengan oral antimikrobial secara rawat
jalan.
b. Kelas II pasien secara sistemik
sakit atau sehat tapi memiliki komorbiditas seperti penyakit vaskular perifer,
insufisiensi vena kronis atau obesitas morbid yang mungkin menimbulkan
komplikasi dari infeksi.
c. Kelas III pasien mungkin memiliki
gangguan sistemik yang signifikan kebingungan akut, takikardia, tachypnoea,
hipotensi atau mungkin komorbiditas tidak stabil yang dapat mengganggu terapi
atau memiliki infeksi tungkai yang mengancam karena kompromi vaskular.
d. Kelas IV pasien memiliki sindrom
sepsis atau infeksi parah yang mengancam seperti necrotizing fasciitis.
(Fulton, 2005)
9)
Rehabilitasi
Menurut Nursing Certified Practice (2014), rehabilitasi selulitis dapat berupa:
a)
Tindak lanjut setiap hari sampai dapat dipastikan bahwa
infeksi dikendalikan
b)
Instruksikan klien untuk kembali untuk waspada segera jika
lesi menjadi berfluktuasi, jika sakit bertambah atau jika demam berkembang.
c.
Trauma Kepala
1) Pengertian
Trauma Kepala
Trauma
kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Trauma
kepala (Trauma Capitis) adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat
dipukul atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka
tengkorak kepala sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak.
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada
kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan
yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila
kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi
dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan
isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi,
goresan atau tekanan (Davey, 2006).
Trauma
kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang mengenai
kulit kepala, tulang tengkorak dan otak (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma kepala dikenal juga sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk) (Sandra
M. Mettin, 2002)
2)
Etiologi
Menurut Brain Injury Association of
America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh
sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan
secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan
perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas,
2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab
rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000
populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala
mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya
trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan
Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana
sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain
sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya
(IRTAD, 1995).
b.
Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan
sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi
bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan
didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik
pada barang atau orang lain (secara paksaan).
3)
Faktor resiko
a. Jenis
Kelamin Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak
mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan
hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena
terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah
3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury Association of
America, laki-laki cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali lebih banyak
daripada perempuan (CDC, 2006).
b. Umur
Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena
pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan
sosial yang tidak bertanggungjawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut
Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang
tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC, 2006).
4)
Pengobatan
a. Terapi Non-Farmakologi
Tidak ada bukti kuat diidentifikasi
pada penggunaan bebas-Farmakologi terapi untuk pengelolaan perilaku gangguan
pada pasien dalam fase akut cedera kepala.
b. Terapi Farmakologi
Berbagai macam obat telah diselidiki
dalam pengelolaan gangguan perilaku.
Ada bukti terbatas efektivitas,
dengan lebih banyak dukungan untuk beta blocker atas agen lain. Setelah cedera
otak traumatis menyebabkan agitasi, perbaikan harus dikeluarkan sebelum terapi
mulai
1. Setiap unit harus disepakati
protokol untuk manajemen agitasi atau agresi.
2. Obat pengobatan harus disesuaikan
secara individual (SIGN, 2009)
5)
Skor Koma
Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai
(skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai
secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai
adalah;
a.
Proses membuka mata (Eye Opening)
b.
Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
c.
Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan
Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam
suatu tabel
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Table 2.1 Skala Koma Glasgow
Eye
Opening
|
|||||
RESPON MATA
|
≥ 1 TAHUN
|
0-1 TAHUN
|
|||
4
|
Mata
terbuka dengan spontan
|
Membuka
mata spontan
|
|||
3
|
Mata
membuka setelah diperintah
|
Membuka
mata oleh teriakan
|
|||
2
|
Mata
membuka setelah diberi rangsang nyeri
|
Membuka
mata oleh nyeri
|
|||
1
|
Tidak membuka
mata
|
Tidak
membuka mata
|
|||
Best Motor Response
|
|||||
RESPON MATA
|
≥ 1 TAHUN
|
0-1 TAHUN
|
|||
6
|
Menurut
perintah
|
Belum
dapat dinilai
|
|||
5
|
Dapat
melokalisir nyeri
|
Melokalisasi
nyeri
|
|||
4
|
Menghindari
nyeri
|
Menghindari
nyeri
|
|||
3
|
Fleksi
(dekortikasi)
|
Fleksi
abnormal (decortikasi)
|
|||
2
|
Ekstensi
(decerebrasi)
|
Eksternal
abnormal
|
|||
1
|
Tidak ada
gerakan
|
Tidak
ada respon
|
|||
Best Verbal Response
|
|||||
RESPON MATA
|
>5 TAHUN
|
2-5 TAHUN
|
0-2 TAHUN
|
||
5
|
Orientasi
baik dan mampu berkomunikasi
|
Menyebutkan
kata-kata yang sesuai
|
Menangis
kuat
|
||
4
|
Disorientasi
tapi mampu berkomunikasi
|
Menyebutkan
kata-kata yang tidak sesuai
|
Menangis
lemah
|
||
3
|
Menyebutkan
kata-kata yang tidak sesuai (kasar, jorok)
|
Menangis
dan menjerit
|
Kadang-kadang
menagis / menjerit
|
||
2
|
Mengeluarkan
suara
|
Mengeluarkan
suara lemah
|
Mengeluarkan
suara lemah
|
||
1
|
Tidak ada
respon
|
Tidak
ada respon
|
Tidak
ada respon
|
||
Berdasarkan
Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;\
a.
Trauma kapitis Ringan, Skor Skala
Koma Glasgow 14 – 15
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di
Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Trauma kepala ringan atau cedera
kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa
menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Cedera kepala ringan adalah
trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh
pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera
kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena benda tumpul
(Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang
ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian
ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59
mmol/L (Parenrengi, 2004).
Tanda dan gejala:
a. Pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala
yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau
dan muntah.
d. Gangguan
tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan
keperibadian diri.
f. Letargik.
b.
Trauma kapitis Sedang, Skor Skala
Koma Glasgow 9 – 13
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas
dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian
penderita cedera kepala sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15
mmol/L (Parenrengi, 2004).
c.
Trauma kapitis Berat, Skor Skala
Koma Glasgow 3 – 8
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan 66%
cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat
terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila
proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera kepala secara
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan
serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak (DeSalles etal.,
1986). Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata
asam laktat 3,25 mmol/L (Parenrengi, 2004).
Tanda dan gejala:
-
Simptom atau tanda-tanda cardinal
yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat.
-
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
-
Triad Cushing (denyut jantung
menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
-
Apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.
6)
Jenis-jenis Trauma
Kepala
a. Jenis
Trauma
Luka
pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri
dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka.
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus
sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Kemungkinan
kecederaan atau trauma adalah seperti berikut:
-
Fraktur Menurut
American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur yaitu
simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
-
Simple : retak pada
tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
-
Linear or hairline:
retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi dan
‘splintering’.
-
Depressed: retak pada
kranial dengan depresi ke arah otak.
-
Compound : retak atau
kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak terdapat juga
hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan
lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium.
Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang
lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit
dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (Graham and
Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang
menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal
keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah
pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada
fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau
kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar
setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan
pada sinus maxilari (Garg, 2004).
b. Luka
memar (kontosio)
Luka memar adalah
apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler)
pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi
bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau
MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat
terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan
cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
c. Laserasi
(luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah
luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain,
pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak
rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada
tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat
menimbulkan jaringan parut.
d. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka
yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian
atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan
terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e.
Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan
bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan
(Mansjoer, 2000).
7)
Penyebab Trauma Kepala
a.
Mekanisme Terjadinya Kecederaan
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma
kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi.
Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan
tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan
mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan
cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya
kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah
apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut
terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur
maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
b.
Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America,
penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan
lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19%
dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab
utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan
penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8
per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma
kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado,
Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti
berikut:
a)
Kecelakaan
Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah
kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain
sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya
(IRTAD, 1995).
b)
Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai
(terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi,
baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c)
Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai
suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera
atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau
orang lain (secara paksaan).
2.4. Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat
terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa,
dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr
dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu
mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala
akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi
lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.
Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat
lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio
intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ). Akselerasi-deselerasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap
otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan
timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan
jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit
ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah
sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu
dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
8)
Diagnosis
a. X-ray
Tengkorak
Peralatan
diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. X-ray tengkorak memang cepat, murah dan mudah untuk
mendapatkan diagnosisi, tetapi X-ray digunakan ketika CT scan tidak tersedia.
CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. Jika Ct scan tidak tersedia, dapat digunakan
untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan fraktur tengkorak, yang kemudian
akan memerlukan transfer CT scan. X-ray hampir tidak memiliki peran sekarang
dalam pemeriksaan cedera kepala (Wyatt, 2012)
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography
scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat
(Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal
pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang
lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan
abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan
yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi
peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson
dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti
ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di
substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan.
Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat
lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat,
2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah
dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala
ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 )
9)
Gejala
Menurut
Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
1)
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
-
Battle sign (warna biru
atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
-
Hemotipanum (perdarahan
di daerah menbran timpani telinga)
-
Periorbital ecchymosis
(mata warna hitam tanpa trauma langsung)
-
Rhinorrhoe (cairan
serobrospinal keluar dari hidung)
-
Otorrhoe (cairan
serobrospinal keluar dari telinga)
2) Tanda-tanda
atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
-
Pasien tertidur atau
kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
-
Sakit kepala yang
menetap atau berkepanjangan.
-
Mual atau dan muntah.
-
Gangguan tidur dan
nafsu makan yang menurun.
-
Perubahan keperibadian
diri.
-
Letargik.
3) Tanda-tanda
atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
- Simptom
atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat.
- Perubahan
ukuran pupil (anisokoria).
- Triad
Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
10)
Pencegahan
Upaya pencegahan Trauma kapitis pada
dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan
lalu lintas yang berakibat trauma pada kepala. Upaya yang dilakukan yaitu:
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan
primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk
mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu
lalu lintas dan kendaraan bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2.
Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya
pencegahan pada saat peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan
beratnya Trauma yang dialami.
Dilakukan dengan memberikan pertolongan
pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang lapang,
memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti bernafas.
Tindakan
Pengobatan Trauma kapitis craniotomy:
a.
Meningkatkan jalan
nafas dan pola nafas yang efektif
Pada
pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy kesadaran menurun tidak dapat
mempertahankan jalan nafas dan pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan
pemeriksaan fisik tanda-tanda vital, memberikan posisi ekstensi pada kepala,
mengkaji pola nafas, memberikan jalan nafas tetap terbuka dan tidak ada sekret
(sputum) yang mengganggu pola nafas
b. Mempertahankan
perfusi otak
Tekanan
perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan tekanan intrakranial.
Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy tekanan darah
perlu diperhatikan supaya tidak menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan,
harus segera diatasi serta menghindari terjadinya infeksi pada otak
c. Meningkatkan
perfusi jaringan serebral
Pada
pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun perlu diberikan
tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30 derajat posisi “midline
(setengah terlentang)” untuk menurunkan tekanan vena jugularis, dan
menghindarkan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial
d. Cairan
dan elektrolit
Pada
pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun atau pasien dengan
muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang
penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada tubuh
e. Nutrisi
Pada
pasien dengan Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun kebutuhan
kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan katabolik. Perlu diberikan
makanan melalui sonde lambung.
f. Pasien
yang gelisah
Pada
pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang, misalnya haloperidol. Untuk
nyeri kepala dapat diberikan obat analgetik.
3.
Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tersier yaitu upaya
untuk menggurangi akibat patologis dari Trauma kapitis. Dilakukan dengan
membawa penderita Trauma kapitis ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan
lebih lanjut dengan tindakan segera craniotomy.
11)
Prognosis
Menurut
Chusid (1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK. Menurut King & Bewes
(2001), prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan
tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka
prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau
traumanya bertambah berat.
Menurut
Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan
awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai,
terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain
12)
Rehabilitasi
Upaya
rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan
sosial.
1) Rehabilitasi
Fisik
a.
Fisioterapi dan latihan
peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.
b.
Perlengkapan splint dan
kaliper
c.
Transplantasi tendon
2) Rehabilitasi
Psikologis
Pertama-tamadimulai
agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan
dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga
diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
3) Rehabilitasi
Sosial
a. Merancang
rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah
pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap
bantuan orang lain.
b. Membawa
penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit akibat luka dan cedera
adalah penyakit yang timbul akibat adanya luka ataupun cedera. Contoh pada
Tetanus yang timbul setelah adanya luka terbuka atau pada anggota badan yang
terkena benda tusuk, sehingga membuat jaringan rusak dan mengganggu jalannya
peredaran darah pada tubuh, sehingga membuat oksigen cepat hilang karena darah
tidak tersuplai dengan baik. Keadaan ini dimanfaatkan oleh bakteri Clostridium tetani yang bisa berkembang
biak dalam keadaan minim oksigen atau bisa tidak ada oksigen sama sekali.
Kemudian bakteri tersebut secara cepat menyebar melalui peredaran darah.
Begitu pula dengan cedera kepala
yang akan menimbulkan trauma kepala atau trauma kapitis. Pada cedera kepala,
kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur
volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
B. Saran
· Masyarakat
diharapkan dapat melakukan pencegahan terjadinya luka dan cedera dengan cara
menghindari segala hal yang berisiko menyebabkan luka dan cedera pada tubuh
manusia.
· Masyarakat
diharapkan dapat melakukan pertolongan pertama jika terjadi luka dan cedera
misalnya dengan membersihkan luka dan sebagainya agar tidak terjadi infeksi
pada luka.
· Pelayanan
kesehatan diharapkan memberikan pengobatan dengan cepat sehingga pasien tidak
terkena penyakit akibat luka dan cedera.
· Pemantauan
lebih lanjut terhadap luka dan cedera harus lebih diperhatikan agar penyembuhan
atau pengobatan berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Triana
Rosantini. 1998. Konsep Dalam Proses
Kelahiran dan Perawatan Bayi di Desa Kemantan Kebalai, Kabupaten Kerinci :
Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. UI-P
ress : Jakarta
AIHW.
2011. Young Australians: Their Health And
Wellbeing 2011. Cat. No. PHE 140 Canberra: AIHW.
AIHW.
2014. Hospitalised Injury In Children And
Young People 2011–12. Injury Research And Statistics Series No. 91. Cat. No.
INJCAT 167. Canberra: AIHW.
Anderson, T.,
Heitger, M., & Macleod, A.D. 2006. Concussion and mild head injury.
Practical Neurology,6, 342–357.
Apsden, P.,
Corrigan, J.M., Wolcot, J., Erickson, S.M.(Ed). Committee on Data Standards for
Patient Safety, Board on Health Care Service. 2004. Patient Safety: Achieving a
New Standard For Care. Washington DC: The National Academy Press
Atzori,
L. 2013. New Trends In Cellulitis. Emj
Dermatol. 2013;1:64-76.
Bedong, MA.
2001. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan Penatalaksanaannya, PP
IDKI, Edisi No.5 Tahun XXVII, Mei 2001
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan
Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Brunner, L dan Suddarth, D. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medical Bedah (H. Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y. Asih,
Terjemahan) Edisi 8. Jakarta : EGC.
Bryant, A.R., Nix, P.D. (2007). Acute
& Chronic Wounds : Current Management Concepts, Third Edition. St. Louis,
Missouri. Mosby
By Trimester Of
Age Using Coded Data And Textual Description. Australian And New Zealand
Byers,
Christopher G., Frantz, Katie. 2011. Thermal Injury. Compendium:
Continuing Education For Veterinarians. Pp E1-E6
Centers
For Disease Control And Prevention. 2015. Report
To Congress On Traumatic Brain Injury In The United States: Epidemiology And
Rehabilitation. National Center For
Injury Prevention And Control; Division Of Unintentional Injury Prevention.
Atlanta, GA.
Chapman
RL, Et. Al. 2011. The Impact Of Social Connectedness On Violent Behavior,
Transport Risk-Taking Behavior, And Associated Injuries In Adolescence. Journal Of School Psychology 49:399–410.
Coronado V.G.,
Thomas K.E., Div of Injury Response, Kegler S.R., Div of Violence Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control, CDC. 2007. 56(08); 167-170.
Corwin,
Elizabeth J.2000.Buku Saku Patofisiologi.EGC: Jakarta.
Danandjaja, James. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali: lukisan
analitis yang menghubungkan
praktek pengasuhan anak orang Trunyan dengan latar belakang etnografisnya. Jakarta : Pustaka Jaya
Davey, Patrick, 2006. Kanker Payudara.
Dalam: Davey, Patrick, ed. At a Glance Medicine. Jakarta : Penerbit Erlangga
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2000. Modul Latihan Petugas Imunisasi. Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI.
1996. Pedoman Pelacakan Neonatal Resiko Tinggi,
Modul Tetanus Neonatorum dan Bayi Berat Lahir Rendah. Dirjen Binkesmas,
Direktorat Bina Kesehatan Keluarga : Jakarta
Departemen Kesehatan RI.
2000. Pelayanan Kesehatan Neonatal
Essensial. Jakarta : Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000. Direktorat Jenderal
Binkesmas, Direktorat Dinkesga (a) : Jakarta
Depkes RI, 1994. Modus Tetanus Neonatorum dan Bayi Berat Lahir Rendah edisi 1994,
Jakarta.
Difiori,
John P., Et.Al. 2014. Overuse Injuries And Burnout In Youth Sports: A Position
Statement From The American Medical Society For Sports Medicine. Clin J Sport Med. 24:3 20
Foster, Berhman, et all.
1988. Ilmu Kesehatan Anak (Nelson :
Textbook of Pediatric), Edisi 12 Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
Gomes, Andreia Patricia, et al. (2011).
Clostridium tetani infections in newborn infants: a tetanus neonatorum review. Rev
Bras Ter Intensiva . Vol
23(4):484-491.
Graham-Brown, R., Burns, Tony. 2005. Dermatologi Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga
Guilfoile, Patrick. 2008. Deadlly Disease and Epidemics: Tetanus.
New York: Chealsea House
Hassel, Bjornar. January
2013. “Toxins”. Translation Journal. Toxins 2013, 5, 73-83;
doi:10.3390/toxins5010073. Department of Neurology, Olso University
Hospital-Rikshospitalet, 0027 Oslo, Norway.
https://www.scribd.com/doc/190415574/Tetanus-Journal, 6 Maret 2016.
Helmi,
Zairin Noor. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Hidayat, A. A. A. 2006. Pengantar
Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta.
Salemba Medika.
Ibrahim
NG, Et. Al. 2012. Influence Of Age And Fall Type On Head Injuries In Infants
And Toddlers. International Journal Of
Developmental Neuroscience 30(3), 201-206.
Ismail.(2008).
Luka dan perawatannya. Jakarta: Balai Pustaka
Israr, Yayan
Akhar. 2008. Sidroma Nefrotik (SN). http://www.Belibis17.com. diakses tanggal 7
April 2016,
Jagger J, Levine
JI, Jane JA, Rimel RW. Epidemiologic features of head injury in a predominantly
rural population. Journal of Trauma 1984;24:40-44.
Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat Jenderal. 2015. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2014.Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
King &
Bewes. (2002). Bedah Primer.Trauma.EGC. Jakarta
Laksmi,
Ni Komang Saraswita. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222. Vol.
41 no. 11 : 4
Langlois
J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain injury in the United
States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Atlanta
(GA): Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury
Prevention and Control, 2006.
Langlois J.A.,
Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain injury in the United States:
emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Atlanta (GA):
Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury
Prevention and Control, 2006.
Mansjoer,
A., et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.
Maulida, Syarifah Wirda. 2012. Faktor-Faktor
Mempengaruhi Cakupan Imunisasi Tetanus Toksoid Pada Ibu Hamil Diwilayah Kerja
Puskesmas Meutulang Kecamatan Panton Reu Kebupaten Aceh Barat tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Mawardi,
Hasan. 2002. Artikel Kesehatan, www.useesblog.com, 06 April 2016
Millar, A. Lynn. 2011. Sprains, Strains And Tears.
Indianapolis: American
College Of Sports Medicine.
Mitaart, A. F., Dan Pandakele H. E. J.
2014. Selulitis Dengan Ulkus Varikos. Jurnal Biomedik (Jbm). Volume 6 Nomor 1
Hlm. 60-64
Morison, M.J. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: EGC.
New
Zealand Guidelines Group. 2006. Traumatic
Brain Injury: Diagnosis, Acute Management, And Rehabilitation. Wellington,
NZ: New Zealand Guidelines Group.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Penerbit
buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Nursing Certified
Practice. 2014. Adult Decision Support Tools: Cellulitis. Crnbc.
Oktober 2014/Pub. 745
Parenrengi,
M.A., 2004. Peranan Senyawa Oksigen Reaktif pada Cedera Kepala Berat dan
Pengaruhnya pada Gangguan Fungsi Enzim Akonitase dan Kondisi Asidosis Primer
Otak. Official Journal of The Indonesian Neurosurgery Society; 2(3): 157-166.
Peden
M, Et. Al. 2004. World Report On Road Traffic Injury Prevention. Geneva: World
Health Organization.
Pemila, Uke. Dan Rosina,
Tarigan. (2007). Perawatan Luka : Moist Wound Healing. Jakarta : Program
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Phoenix, Et. Al. 2012. Diagnosis And Management Of
Cellulitis. Bmj;345
Potter,
Patricia A., & Anne Griffin Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Volume II. Jakarta: EGC. Crest. 2005. Guidelines On The Management Of Cellulitis In
Adults. Ireland: Crest Secretariat
Pratiwi, Sari. 1998. Pandangan Budaya Dalam Sistem Perawatn Bayi di Pulau Lombok: Kehamilan,
Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. UI-Press : Jakarta
Price,
A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa: Dr. Brahm U. Penerbit.
Jakarta: EGC
Reisner A.,
2009. Understanding Traumatic Brain Injuries. Medical Director of Children’s
Neuro Trauma Program. Available:
http://www.choa.org/Menus/Documents/OurServices/Traumaticbrainiinjur y2009.pdf.
[Diakses pada tanggal 8 April 2016].
Ritarwan, K., 2004. Tetanus.
Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf. [Accesed 08 April 2016].
Ritarwan, Kiking. 2004. Tetanus. Medan: Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran USU
Ross, David. 1988. Apakah Latihan Dukun Bayi Dapat Mencegah Tetanus Neonatorum :
Kelangsungan Hidup Anak. Gadjah Mada University : Yogyakarta
Sastrodiningrat, A.G., 2007. Pemahaman
Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat.
Universitas Sumatera Utara. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/753
[ Accessed 07 April 2016 ]
Silverstein,
D. Et.Al. 2008. Small Animal Critical
Care Medicine: Thermal Burn Injury. Philadelphia, PA: Saunders.
Silvia Soekirman. 1982. Perkerasan Lentur Jalan Raya. Nova
Bandung.
Siskind,
V & Scott, D. 2013. Injuries Leading To Hospitalisation In The First Year
Of Life: Analysis
Sjamsuhidajat, R
& Wim De Jong. 2011. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
Smith, Helen C., Et.Al. 2012. Risk Factors for Anterior Cruciate Ligament Injury. Sports Health. 4(2): 155–161.
Soedarno, Tina Rusdiah. 1998. Corek Hubungan Sistem Kesehatan Tradisional dan Sistem Kesehatan Modern; Kasus Paraji Terdidik di Desa Kersamenak Kecamatan Kawalu Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat : Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi. UI-Press : Jakarta
Sotani, D. 2009. Rawat luka dengan metode modern, minimalkan parut. 2009. Available from URL: http: www.unair.ac.id/htm. 2009. Diakses tanggal 06 April 2016
Suriadi, Rita Yuliani. 2001. Asuhan
Keperawatan Pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Suzanne, C.
Smeltzer. (2001). Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Taylor L, La Mone. (1997). Fundamentals
of nursing: the art and science of nursing care B. Third Edition. Philadhelpia:
Lippincott
Trisari, Curniawati. (2006).
Perbedan Skor Histologi C-erbB-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Dengan
dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Penyembuhan Luka Tikus Wistar. Tesis. Universitas Diponegoro.
Ulaen, Alex J. 1998.
“Pantangan Bagi Wanita Hamil dan Perawatan Persalinan di Kepulauan Sangihe
Talaud, Sulawesi Utara,” dalam Meutia Hatta Swasono (ed). Kehamilan dan Kelahiran
Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Jakarta: UI Press.
Umilatifah. (2008). Perawatan Luka. diakses pada tanggal 04
April 2016
:http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimusgdl-umilatifah-5199-3-babiip-f.pdf
Winarsunu,
Tulus. 2008. Psikologi Keselamatan Kerja.
Malang: UMM Press.
Wyatt, Jonathan P, et al. 2012. Oxford
Handbook of Emergency Medicine Fourth Edition. New York: Oxford University
Press.
Wyatt, W.
(2012). Membedah pandangan karyawan di Indonesia.
http://www.portalhr.com/peoplemanagement/employeerelations/membedah-pandangan-karyawan-indonesia/
(Diakses pada tanggal 8 April 2016).
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
damascus titanium - TitaniumArt - the Art Institute of
ReplyDeletevintage artworks on the tin - The TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO chi titanium flat irons TOTO TOTO suppliers of metal TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO titanium 3d printing TOTO TOTO TOTO TOTO pure titanium earrings TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO TOTO titanium nose rings TOTO TOTO TOTO